Friday, July 28, 2017

Al Quran Selalu Benar

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Islam bukanlah agama yang dipenuhi dogma atau doktrin. Islam adalah agama yang segalanya harus masuk akal, bisa dipahami dengan logika, dan diuji kebenarannya. Salah besar jika ada orang yang mengatakan dalam ajaran Islam ada dogma dan doktrin. Hal itu disebabkan yang namanya dogma dan doktrin itu selalu melahirkan pendapat dan pemahaman yang tidak boleh dipertanyakan kebenarannya, tidak boleh diuji benar atau salahnya, dan harus diterima sebagai kebenaran mutlak. Salah atau buruk pun harus diyakini sebagai kebenaran. Itulah sifat dari dogma dan doktrin. Akan tetapi, tidak dengan Islam. Islam adalah ilmu pengetahuan yang dipenuhi oleh kebenaran yang menantang untuk diuji. Semua orang boleh tidak percaya Islam maupun Al Quran asal mampu menerangkan dengan benar dan ilmiah kesalahan-kesalahan Al Quran.

            Sungguh, sampai hari ini tidak ada yang memiliki kemampuan menjelaskan kelemahan dan kesalahan Al Quran. Tantangan Allah swt kepada seluruh manusia cerdas tetap berlaku sampai hari ini dan sampai hari ini pula tidak pernah ada yang mampu menjawab tantangan-Nya.

            Kata Allah swt, “Tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al Quran? Sekiranya Al Quran itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS An Nisa 4 : 82)

            Dalam ayat di atas Allah swt menandaskan bahwa Al Quran adalah berasal dari Allah swt, bukan dari manusia, termasuk bukan dari Muhammad. Hal itu disebabkan manusia sering melakukan kesalahan dan kerap bertentangan pendapatnya antara hari ini dengan hari kemarin, bahkan hari besok. Al Quran tidak demikian. Al Quran tetap lurus dan benar tanpa ada pertentangan di dalamnya, baik sejak masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Apabila ada yang meragukan isinya yang selalu benar dan lurus tanpa ada pertentangan, cari saja sampai ketemu ayat mana yang bertentangan dengan ayat lainnya di dalam Al Quran yang sama itu. Kalau ada yang menemukan pertentangan itu, beri tahu saya. Saya akan beritahu bahwa yang bertentangan itu bukan Al Quran, tetapi pikiran pendek manusialah yang selalu bertentangan di dalam dirinya sendiri akibat dari hawa nafsu untuk membuktikan bahwa Al Quran salah meskipun pendapatnya lemah, bodoh, dan sering tampak lucu.

            Silakan beritahu saya ayat-ayat yang bertentangan itu. Hasilnya, saya sering menertawakan pendapat yang dipaksa-paksakan itu.

            Al Quran selalu benar dan pasti benar adalah disebabkan berasal dari Zat Yang Lurus, Zat Yang Jujur, dan Zat Yang Pasti Benar. Zat itu adalah Allah swt.

            Hal ini sebagaimana yang dikatakan Allah swt kepada Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam. Saat itu Allah swt memperkenalkan diri-Nya kepada Prabu Siliwangi dengan nama Sang Hyang Jatiniskala yang berarti Tuhan Yang Tidak Dapat Dibayangkan. Dalam naskah Jatiraga dituliskan bahwa Sang Hyang Jatiniskala benar-benar bersifat niskala, tidak dapat terbayangkan, tidak dapat dikonkritkan.

            “Sebab Aku adalah asli dan dari keaslian. Tidak perlu diubah dalam bentuk benda alam yang tidak asli dan tidak jujur sebab Aku adalah jujurnya dari kejujuran.”

            Pernyataan diri “Aku” tersebut jelas menegaskan bahwa Allah swt adalah sumber dari “keaslian”, berbeda dari makhluk-Nya yang sering tidak jujur, Allah swt adalah sumber utama dari seluruh “kejujuran”.

            Al Quran berasal dari Zat Yang Tidak Terbayangkan, Zat Sumber Keaslian, dan Zat Utama Sumber Kejujuran. Oleh sebab itu, tak ada pertentangan dalam ayat-ayat Al Quran karena seluruh isinya “asli, lurus, dan jujur”.


            Sampurasun.

Saturday, April 22, 2017

Semrawutnya Kisah Sang Prabu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kisah Prabu Siliwangi as dari dulu kerap semrawut. Akan tetapi, kesemrawutan itu bisa diurai dengan baik jika kita mengikutsertakan eksistensi Benua Sundaland ke dalam kronologis kehidupan Indonesia. Ada sinar terang dalam kegelapan untuk lebih memahami Prabu Siliwangi as.

            Menurut para ahli, baik sejarah maupun sastra, berdasarkan data-data masa lalu, Prabu Siliwangi disebut-sebut beragama Hindu atau Budha Tantra. Prabu Siliwangi pun disebut-sebut sebagai sumber primer sebagai awal atau leluhur seluruh raja Sunda. Prabu Siliwangi pun disebutkan sebagai leluhur raja-raja Islam, baik Sunda maupun Jawa, yang memerintah sampai akhir abad ke-15—ke-19 (Hasan Muarif Ambary, 1985 : 6 dalam Partini Sardjono, 1991).

            Semrawut sekali jika Prabu Siliwangi disebut Hindu atau Budha Tantra. Apalagi jika Prabu Siliwangi dikatakan telah sukses mencapai tingkat tertinggi dalam agama Hindu menjadi Dewa mirip Dewa Wisnu, kemudian belajar lagi “ilmu kelepasan” menuju wairocana dalam agama Budha. Sudah sukses menjadi Hindu, lalu meneruskan menjadi Budha.

            Mirip kuliah. Beres S1, lalu S2.

            Memangnya Prabu Siiwangi mengejar tunjangan sertifikasi?

            Hal yang lebih membingungkan adalah para ahli mengatakan bahwa Prabu Siliwangi beragama Hindu dan Budha Tantra, tetapi konsep ketuhanannya disebutkan “berada di atas konsep ketuhanan Hindu dan Budha”.

            Bagaimana mungkin Prabu Siliwangi beragama Hindu atau Budha, tetapi konsep ketuhanannya berbeda dengan Hindu dan Budha, bahkan berada di atas kedua agama itu?

            Di samping itu, indah sekali jika memang benar Prabu Siliwangi beragama Hindu atau Budha, tetapi anak-cucunya menjadi raja-raja Islam dan penyebar-penyebar Islam yang sangat masyhur di Indonesia. Dalam kenyataannya, di India sendiri hingga hari ini sering sekali terjadi konflik atas dasar agama antara Hindu, Budha, dan Islam. Bahkan, di Myanmar pemimpin Budha yang sangat berpengaruh melakukan provokasi terhadap umat Islam sehingga penguasa militer Myanmar melakukan banyak kekejian, penganiayaan, pembunuhan, dan pengusiran terhadap kaum muslimin Rohingya. India, Kashmir, Pakistan, Myanmar tampaknya harus ke Indonesia dan mempelajari kronologis Kerajaan Sunda agar bisa tenang dalam perbedaan agama seperti Prabu Siliwangi yang tenang-tenang saja memiliki anak-cucu menjadi raja-raja Islam dan para penyebar Islam berpengaruh. Itu juga kalau benar kisah Prabu Siliwangi seperti itu. Akan tetapi, pasti tidak benar.

            Hal yang paling mudah dipahami adalah Prabu Siliwangi itu adalah nabi kepercayaan Allah swt untuk mengajarkan ajaran Islam pra-Muhammad saw. Ajarannya itu adalah Sunda Wiwitan. Kemudian disempurnakan oleh ajaran Islam. Hal itu bisa dilihat dari berbagai konsep ketuhanan dan budi pekerti yang diajarkan dalam Sunda Wiwitan. Seluruhnya merupakan dasar-dasar ajaran Islam pra-Muhammad saw yang kemudian disempurnakan oleh Islam Muhammad saw.

            Sampurasun.

Tuesday, April 18, 2017

Kejujuran Nabi Prabu Siliwangi

 oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Prabu Siliwangi adalah sosok yang tak pernah dilupakan masyarakat Sunda, bahkan rakyat Indonesia hingga membuat penasaran peneliti di seluruh dunia. Pribadi ini begitu agung dan selalu terintegrasi pada diri setiap urang Sunda. Ajarannya digunakan sebagai spirit moral seluruh bangsa Indonesia, yaitu silih asih, silih asuh, silih asah, ‘saling mengasihi, saling menjaga, saling mencerdaskan’.

            Beberapa keunggulan Prabu Siliwangi dicatat dalam naskah Cariosan Prabu Silihwangi. Beberapa keunggulan itu dikutip oleh Dr. Partini Sardjono Pr., S.S. saat pengukuhan penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sastra pada Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dalam pidatonya yang berjudul Peranan Sastra Nusantara Kuna dalam Alam Pembangunan Nasional (5 Juli 1986).

            Secara fisik wajah Prabu Siliwangi sangat tampan.

            Sungguh sangat tampan, pahlawan dunia yang memesona. Siliwangi bagaikan emas permata yang memenuhi bangsal.

            Siliwangi adalah pribadi yang patuh pada perintah dan mudah memohon maaf jika melakukan kesalahan.

            Patuh pada kata-kata petunjuk yang mengarahkan pada kebenaran.

            Tak ayal hamba menerima besarnya kemarahan apabila khilaf. Kami sangat Kanda, mohon maaf, tidak akan berbuat lagi.

            Siliwangi adalah orang yang manis kata sehingga enak didengar orang lain.

            Bersikap dan bertutur menarik. Manusia yang berbudi luhur. Yang mendengar kebijaksanaan Siliwangi, semua bersedia, tidak segan.

            Jika bertanding dalam pertarungan, Siliwangi tidak pernah mundur atau lari dari pertarungan. Ia lebih baik kalah daripada harus kabur.

            Terlanjur sanggup bersedia mengikuti keinginan. Apabila mengingkari, kami sangat malu. Lebih baik seandainya kalah.

            Siliwangi selalu teguh memegang kode etik dan janji. Ia tidak pernah melakukan “penyalahgunaan kekuasaan”. Ketika dipercaya menjadi Ketua Panitia Sayembara Mendapatkan Puteri Cantik, Siliwangi teguh berbuat adil dan tidak menyalahgunakan wewenangnya. Ia memperlakukan sama setiap peserta sayembara. Sesungguhnya, ia mendapatkan kesempatan emas untuk menyalahgunakan kewenangannya karena Sang Puteri ternyata justru jatuh cinta kepada Siliwangi, bukan kepada para peserta sayembara. Akan tetapi, karena Siliwangi adalah Ketua Panitia Sayembara, Siliwangi berpura-pura tidak mengetahui isyarat cinta yang disampaikan Sang Puteri.

            Siliwangi berkata tenang, tidak menerima.

            Dalam menyelenggarakan kompetisi itu Siliwangi berbuat sangat adil, tidak menguntungkan maupun merugikan setiap kontestan peminat Sang Puteri Cantik. Siliwangi selalu menghentikan pertarungan jika ada kontestan yang jatuh, terluka, atau lemah. Siliwangi selalu memberikan kesempatan kepada peserta sayembara yang lemah untuk memulihkan dirinya hingga pertarungan kembali berlangsung seimbang dan adil.

            Karena tidak sadar … merasa ditolong oleh Sang Rupawan.

           Dari kutipan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa nilai-nilai hidup yang dianut Prabu Siliwangi adalah:

1. Kepatuhan

2. Rendah hati

3. Lemah lembut, penuh tatasusila

4. Bijaksana dengan tekad yang teguh


5. Memegang teguh kode etik ksatria

            Demikianlah sepotong kejujuran Siliwangi yang merupakan nilai-nilai etik sangat luhur. Sesungguhnya jika kejujuran Siliwangi dapat dijadikan contoh dan dihidupkan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan dalam pergaulan bermasyarakat sehari-hari, Indonesia dan dunia akan memiliki banyak pemimpin jujur dan masyarakat yang bahagia.


            Sampurasun.

Kisah Wayang Asli Indonesia, Bukan India

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kisah-kisah wayang selama ini dikenal dunia berasal dari India. Mereka yang pertama kali mengatakan bahwa kisah-kisah wayang ini berasal dari India adalah orang-orang Belanda. Mereka mengatakan berasal dari India karena kisah-kisah itu banyak dipengaruhi bahasa Sansakerta. Mereka menduga bahasa Sansakerta berasal dari India, padahal kuat dugaan bahwa bahasa Sansakerta itu adalah berasal dari Indonesia dan merupakan bahasa tinggi yang berlaku di lingkungan orang-orang tinggi, para pejabat tinggi, dan terpelajar saat itu. Akan tetapi, bahasa Sansakerta musnah di Indonesia karena para penggunanya dihukum Allah swt pada bencana mahadahsyat yang menghancurkan Benua Sundaland menjadi kepulauan seperti sekarang ini. Untuk lebih jelasnya, baca tulisan saya yang lalu berjudul Matinya Bahasa Sansakerta.

            Berdasarkan konstruksi yang saya buat pada tulisan Matinya Bahasa Sansakerta, berarti pula kisah-kisah pewayangan ini berasal dari Indonesia yang kemudian menyebar ke India.

            Kalaulah kisah-kisah Ramayana, Mahabharata, atau yang lainnya benar dari India, siapa yang membawanya ke Indonesia?

            Orangnya harus terkenal karena kisah ini sangat populer di Indonesia dalam bentuk pewayangan. Akan tetapi, ternyata tidak diketahui.

            Kalaulah kisah-kisah itu berasal dari orang Indonesia yang pernah ke India, dia harus lama berada di India, kemudian sangat populer di Indonesia karena kisah-kisah ini sangat populer di Indonesia.

            Siapa orangnya?

            Tidak jelas. Gelap.

            Sebagaimana yang telah saya tulis bahwa berdasarkan peta yang dibuat Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, dulu pada masa Indonesia masih berbentuk Sundaland, India itu hanyalah sebuah kadipaten dari kekuasaan Kerajaan Sunda, Indonesia. Pengaruh politik Kerajaan Sunda sangat besar pada wilayah-wilayah yang dikuasainya, termasuk India. Pengaruh itu di antaranya bahasa Sansakerta dan kisah-kisah pewayangan.

            Akan tetapi, ketika terjadi bencana besar yang menghancurkan Benua Sundaland berkeping-keping menjadi kepulauan seperti sekarang ini, para pengguna bahasa Sansakerta dan para penggemar kisah pewayangan itu pun ikut musnah, kecuali masih diingat oleh sedikit orang yang diselamatkan Allah swt dalam jumlah sedikit dan termasuk golongan lemah, terhina, tetapi masih beriman kepada Allah swt. Adapun daratan India meskipun ikut bergetar dan tertimpa bencana juga, kerusakannya tidak separah kehancuran Sundaland. Oleh sebab itu, bahasa Sansakerta dan kisah pewayangan itu masih bertahan di India.

            Orang-orang lemah dan beriman yang selamat inilah yang kemudian tetap melestarikan kisah-kisah itu karena isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Isinya biasanya tentang sastra, pernikahan, agama, dan pengaturan negara. Mereka pun membangun kembali dunia yang telah hilang itu dari awal dalam bentuk kepulauan sambil tetap melestarikan kisah-kisah itu.

            Pada perkembangan berikutnya kisah-kisah ini disebut kakawin. Kawi adalah bahasa Sansakerta yang artinya “ia yang diberkati dengan kearifan”, “Yang Mahatahu”, “Yang Suci”. Akan tetapi, kemudian diartikan sebagai “penyair” (Partini Sardjono, 1986).

            Penulisan kakawin ini terus terjadi berabad-abad kemudian, berkembang, dan semakin populer. Hasil karya sastra kakawin yang paling populer dan paling tua adalah berasal dari Jawa Tengah, Indonesia yang berjudul Ramayana.

            Dr. Partini Sardjono Pr., S.S. saat pengukuhan penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sastra pada Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dalam pidatonya yang berjudul Peranan Sastra Nusantara Kuna dalam Alam Pembangunan Nasional (5 Juli 1986) mengatakan bahwa penulisan sastra kakawin berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dari sinilah mulai lebih terang diketahui beberapa penulis kakawin berikut karya-karyanya. Arjunawiwaha ditulis oleh Mpu Kanwa (abad 11), Bharatayudha ditulis oleh Mpu Sedah yang kemudian diteruskan Mpu Panuluh (abad 12), Hari Wangca dan Ghatotkacasraya ditulis Mpu Panuluh (abad 12), Kresnayana ditulis Mpu Triguna (abad 13), Smaradahana ditulis Mpu Dharmaraja (abad 12), Sumasantaka ditulis Mpu Monaguna (abad 13), Bhomantaka (abad 13), Negarakrtagama ditulis Mpu Prapanca (abad 14), Sutasoma ditulis Mpu Tantular, dan Lubdhaka atau Siwaratrikalpa ditulis Mpu Tanakung (abad 15).

            Sayangnya, penulisan-penulisan karya sastra jenis ini mengalami kemunduran seiring dengan mundurnya kekuasaan Majapahit akibat konflik-konflik politik yang terjadi pada abad 16. Memang pada abad 16 ini di samping konflik politik yang sangat keras terjadi di Majapahit, juga mulai datangnya penjajahan Belanda pada 1602. Para ahli dan peneliti Belanda mengatakan bahwa kakawin itu merupakan kisah-kisah Hindu atau Budha dan berasal dari India. Dari sinilah tampaknya mulai kekeliruan itu. Hal itu menyebabkan orang-orang yang sudah mengikuti Islam Muhammad saw setelah sebelumnya menganut Islam berdasarkan nabi-nabi terdahulu menganggap bahwa kisah-kisah kakawin itu tidak penting karena menurut Belanda berasal dari Hindu, Budha, dan India. Adapun para wali dan penyebar ajaran Muhammad saw lebih banyak berceritera tentang Nabi Muhammad saw, keluarganya, para sahabat, serta para pejuang Islam.

            Tampaknya, konflik politik di Majapahit yang sangat keras, kehadiran penjajah Belanda, dan kisah-kisah Nabi Muhammad saw membuat karya sastra kakawin tidak lagi disukai, bahkan cenderung akan dimusnahkan karena ya itu tadi anggapan keliru mengenai kakawin berasal dari India dan merupakan alat untuk menyebarkan Hindu dan Budha. Hampir saja kisah-kisah ini benar-benar musnah jika para bangsawan dan rohaniwan Majapahit tidak menyingkir ke Pulau Bali.

            Di Bali para bangsawan Majapahit dan para rohaniwannya mendapat kehidupan yang lebih layak sehingga kisah-kisah kakawin ini masih lestari. Kemudian, penulisan karya sastra ini dilanjutkan oleh orang-orang Bali. Akibatnya, latar belakang hidup, pengalaman hidup, dan agama orang-orang Bali yang Hindu pun mempengaruhi isi kakawin. Jadi, kakawin ini sekarang benar-benar terpengaruhi agama Hindu. Dari sini tampaknya hubungan dengan India menjadi erat. Hal ini bisa dilihat dari ceritera asal India yang mengisahkan Dewa Krisna sedang berada di Bali.

            Berbeda dengan di Pajajaran, Sunda. Karena di Pajajaran tidak terjadi konflik-konflik keras seperti yang terjadi di Majapahit, para bangsawan dan rohaniwan Pajajaran tidak lari kabur ke pulau lain. Dengan demikian, karya-karya sastra kakawin tidak lari ke mana-mana, malahan masuk ke dalam berbagai kawih (tembang, lagu). Karena tidak lari ke mana-mana dan menerima dengan baik ajaran Muhammad saw setelah sebelumnya menganut Sunda Wiwitan, hasil karya sastra jenis ini mendapatkan pengaruh ajaran Islam sangat kuat sehingga justru digunakan menjadi alat untuk menyebarkan agama Islam. Hal ini bisa kita lihat dari setiap pagelaran wayang golek. Siapa pun dalangnya, dari ke generasi ke generasi, wayang golek selalu sarat dipenuhi oleh nasihat-nasihat Islami dan keluhuran budi pekerti Sunda yang memperkuat akhlakul karimah sebagaimana diajarkan Muhammad saw.

            Begitulah kira-kira konstruksinya jika kita melibatkan eksistensi Benua Sundaland dalam sejarah hidup Indonesia. Memang sudah seharusnya eksistensi Benua Sundaland berikut kehancurannya dimasukkan menjadi bagian dari kronologis sejarah Indonesia dari masa ke masa.

            Sesungguhnya, Allah swt yang lebih mengetahui segalanya.


            Sampurasun.

Saturday, April 15, 2017

Matinya Bahasa Sansakerta

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dalam hal bahasa, yang disebut sebuah bahasa mati itu bukan berarti musnah dan hilang tanpa bekas, melainkan bahasa itu sudah tidak efektif lagi digunakan untuk berkomunikasi. Demikian pula dengan bahasa Sansakerta yang pernah ada di Indonesia, mati. Bahasa ini sekarang hanya digunakan untuk nama-nama gedung, organisasi yang berkaitan dengan pemerintah, atau semangat-semangat keprajuritan seperti Jales Veva Jaya Mahe, ‘Di Laut Kita Jaya’ yang merupakan spirit Angkatan Laut Indonesia.

            Para ahli banyak yang mengatakan bahwa bahasa Sansakerta berasal dari India karena huruf dan penggunaannya masih banyak di India. Akan tetapi, para ahli tidak mengetahui kapan bahasa ini masuk ke Indonesia, apakah melalui perkawinan, hubungan ekonomi, sosial, atau hubungan militer. Tidak jelas. Kalaupun benar bahasa Sansakerta berasal dari India, harus ada kisah dongeng ataupun catatan sejarah tentang keakraban maupun konflik antara kerajaan-kerajaan di Indonesia dengan kerajaan-kerajaan di India. Kenyataannya, tidak ada. Kalaupun ada, tidak diketahui masyarakat dan hanya terdiri atas satu atau dua paragraf pengantar dari folklore yang berisi kisah tentang kerajaan di Indonesia. Demikian pula kematian bahasa Sansakerta di Indonesia, tidak diketahui dengan baik. Seolah-olah ada sejarah yang putus dan hilang terkubur.

            Tampaknya, memang bahasa itu terkubur karena para penggunanya terkubur akibat bencana mahadahsyat yang menghancurkan Benua Sundaland menjadi 17.000 pulau bernama Indonesia. Eksistensi bahasa Sansakerta di Indonesia tampak pada peninggalan prasasti batu tulis dan naskah-naskah kuno. Isinya biasanya tentang hal-hal terhormat dan mulia. Artinya, bahasa itu digunakan di kalangan terhormat, kaum bangsawan, dan orang-orang berkedudukan tinggi.

            Apabila kita melihat peta kekuasaan Kerajaan Sunda yang dibuat oleh Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, ternyata India itu dulunya hanya sebuah kadipaten dari Kerajaan Sunda. Artinya, India adalah bawahan dari Kerajaan Sunda. Hal itu menunjukkan bahwa Kerajaan Sunda pada masa Sundaland memberikan pengaruh yang besar pada India, termasuk dalam hal bahasa. Dengan demikian, saya memiliki dugaan bahwa bahasa Sansakerta bukanlah berasal dari India, melainkan sebaliknya, berasal dari Indonesia yang menyebar ke India.

            Dengan melihat berbagai peninggalan, bahasa Sansakerta dapatlah dikatakan sebagai bahasa tinggi di kalangan orang-orang tinggi. Artinya, tidak semua penduduk Sundaland menggunakan bahasa Sansakerta. Kalangan masyarakat pinggiran, miskin, dan lemah menggunakan bahasa yang lain. Fenomena ini bisa kita lihat pada masa kini juga, yaitu bahasa Indonesia yang digunakan di kalangan orang terhormat, mulia, dan terpelajar. Adapun masyarakat yang masih jauh di pedalaman, apalagi terisolasi dan kuat memegang adat istiadat, sama sekali tidak mampu berbahasa Indonesia. Jangankan berbahasa Indonesia, mendengar saja pun mungkin belum pernah. Mereka hanya menggunakan bahasa mereka sendiri.

            Jika kita memperhatikan Al Quran surat Saba, bencana mahadahsyat yang datang bebarengan antara banjir laut pasang melahap gunung, gempa tektonik, dan gempa vulkanik pada 8.000 tahun sebelum Masehi adalah ditujukan untuk orang-orang kaya yang sombong, para penguasa yang angkuh, dan orang-orang mulia yang sudah menjadi kafir melupakan ajaran para nabi terdahulu. Orang-orang inilah yang terkubur dan tenggelam dengan segala kekuasaan dan kekayaannya. Orang-orang tinggi dan terhormat inilah sebagai pengguna bahasa Sansakerta yang musnah dari muka Bumi. Jadi, kematian bahasa Sansakerta disebabkan oleh kematian para penggunanya. Pengguna bahasa Sansakerta di Indonesia sebagian besar musnah dan hanya diingat oleh beberapa orang saja yang diselamatkan Allah swt dari bencana itu. Adapun orang-orang pinggiran, lemah, dan miskin, tetapi masih tetap memegang ajaran nabi terdahulu selamat dari bencana itu dan memulai hidup baru dalam kondisi wilayahnya yang telah berubah menjadi kepulauan.

            Daratan India sebenarnya mengalami goncangan teramat hebat ketika terjadi bencana itu. Akan tetapi, menurut catatan para peneliti, wilayah yang paling parah mengalami kehancuran adalah Benua Sundaland. Memang hasilnya bisa kita lihat saat ini bahwa benua yang satu berubah drastis menjadi 17.000 pulau bernama Indonesia. Karena kerusakan daratan India tidak separah kehancuran Benua Sundaland, masih sangat banyak pengguna bahasa Sansakerta beserta berbagai tulisan dan ajarannya yang tidak musnah dan tetap hidup di India. Tampaknya, inilah yang menyebabkan orang-orang berpendapat bahwa bahasa Sansakerta berasal dari India. Akan tetapi, saya melihat hal lain. Hal itu adalah wilayah asal bahasa Sansakerta, yaitu Benua Sundaland yang kini bernama Indonesia hancur lebur berkeping-keping dan mengubur serta menenggelamkan para pengguna bahasa Sansakerta sampai hampir habis dan masih diingat oleh hanya beberapa gelintir orang yang diselamatkan Allah swt. Dari beberapa gelintir orang inilah bahasa Sansakerta bisa bertahan beberapa kata dan beberapa kalimat di Indonesia. Adapun di India, bahasa Sansakerta yang asalnya dari Indonesia tetap masih hidup dan digunakan karena wilayahnya tidak hancur parah seperti Sundaland.

            Wallahu alam

            Begitu Saudara.

            Ada yang berbeda pendapat?

            Boleh. Bahkan, harus.

            Kita harus saling meluruskan agar didapat kebenaran yang lebih nyata dan tepat. Tak perlu malu jika salah dan jangan belagu jika benar.


            Salam damai. Sampurasun.

Friday, April 14, 2017

Kejayaan Sunda Masa Sundaland

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Ada lagi bukti penemuan prasejarah yang menunjukkan bahwa orang Sunda sudah melakukan berbagai hubungan internasional dengan negeri-negeri yang sangat jauh. Hal itu menandakan bahwa pada masa Benua Sundaland sebelum hancur menjadi negeri kepulauan bernama Indonesia ini masyarakat Sunda hidup dalam kemakmuran luar biasa dengan keramaian penduduknya.

            Dr. Hasan Muarif Ambary dalam Karangan Penunjang ke-10 berjudul Refleksi Budaya Sunda Dillihat dari Pengamatan Temuan Arkeologi (1986) menuturkan bahwa sebuah situs kuno dari tradisi prasejarah salah satunya adalah situs Buni dan situs Cipari. Situs Buni telah diketahui melalui penelitian arkeologi merupakan sebuah pemukiman masyarakat kuno di Pantai Utara Jawa Barat membentang dari Karawang hingga Tanggerang. Bentangan tersebut dilihat dari gerabahnya merupakan satu kontek budaya yang sama (Sutayasa, 1972 : 182). Di situs itu ditemukan benda sangat penting yang disebut Romano Indian Rouletted, sebuah fragmen gerabah yang merupakan bahan komoditi perdagangan kuno berasal dari Romawi.

            Ditemukannya pemukiman padat penduduk yang membentang dari Karawang hingga Tanggerang serta adanya komoditi perdagangan dari Romawi menunjukkan adanya kehidupan yang ramai dalam frekwensi mobilitas tinggi dan kemakmuran penduduknya, baik dari hasil alam berupa laut, kebun, hutan, dan gunung, maupun dari perdagangan internasional. Hal ini pun menguatkan pandangan bahwa memang di Indonesia-lah sebenarnya Atlantis itu berada.

            Ketika kejayaan dan kemakmuran demikian tingginya, orang-orang lupa dengan ajaran para nabi, seperti, Nabi Prabu Siliwangi as, Nabi Sulaeman as, dan Nabi Daud as. Bahkan, bukan hanya lupa, melainkan menjauh dari Allah swt, kemudian mengikuti ajaran Iblis. Oleh sebab itu, Allah swt murka dan menghancurkan Benua Sundaland yang megah itu menjadi 17.000 pulau lebih yang kini bernama Indonesia. Untuk lebih jelasnya, baca tulisan saya yang lalu berjudul Indonesia dalam Pandangan Allah swt.

            Penemuan pemukiman ramai dan barang dagangan dari Romawi itu pun menunjukkan kesalahan dari dugaan Darwin. Para pengikut Darwin selalu berpandangan bahwa manusia itu berasal dari makhluk bersel satu dan berkembang hingga menjadi sekarang ini. Penemuan adanya budaya yang sama dalam keadaan ramai dan padat seperti yang ditemukan peneliti tanpa adanya penemuan manusia purba dan atau bentuk fisik manusia yang sedang berubah dari monyet menjadi manusia di tanah Sunda sudah menegaskan kesalahan Darwin. Hal yang benar adalah sesungguhnya sebagaimana yang diinformasikan oleh Allah swt dalam QS Al Hujurat 49 : 13.

            “Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti.”

            Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa Allah swt menciptakan manusia itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan karakteristik masing-masing serta kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional juga yang masing-masing. Manusia diciptakan berbeda secara fisik, mental, intelektual, emosional, dan spiritual. Hal  itu dimaksudkan Allah swt untuk saling mengenal sehingga dapat saling belajar, saling mengisi, dan saling membantu dalam menyempurnakan hidup dan kehidupan yang diciptakan Allah swt.

            Orang Sunda, Jawa, Minang, Batak, Papua, dan seluruh suku bangsa di dunia ini memiliki leluhur masing-masing, memiliki sepasang suami istri masing-masing yang merupakan awal dari suku bangsa itu. Di wilayah setiap suku ada tempat yang merupakan lokasi bagi Allah swt dalam menciptakan pasangan awal suami istri yang melahirkan suku bangsa mereka. Dari pasangan awal itulah lahir suku bangsanya yang khas dengan segala karakteristiknya sesuai dengan kehendak Allah swt.

            Allah swt memberikan contoh penciptaan sepasang suami-istri ini sebagaimana penciptaan Adam-Hawa. Adam-Hawa adalah leluhur pertama bagi sukunya sendiri dan bukan leluhur seluruh manusia.

            Penemuan pemukiman manusia dalam satu kontek budaya yang sama pun menegaskan “kesalahan” berbagai dugaan yang selama ini berkembang dan dikembangkan bahwa orang Indonesia merupakan para pendatang dari negeri-negeri lain. Banyak sekali buku sejarah yang menulis bahwa orang Indonesia ini merupakan pendatang dari bangsa Yunan, Cina tanpa memberikan bukti yang benar.

            Coba terangkan kepada saya ahli sejarah mana saja di dunia ini yang dapat menjelaskan bahwa jika bangsa Indonesia berasal dari Yunan, Cina, mengapa perilaku dan tradisi Yunan tidak pernah ada pada bangsa Indonesia?

            Mengapa tak ada jejak keyakinan suku Yunan, Cina pada penduduk pribumi Indonesia?

            Mengapa pula bangsa Indonesia tidak pernah menggunakan bahasa Yunan?

            Ada masalah apa antara bangsa Indonesia dengan leluhurnya dari Yunan sehingga tidak sudi lagi menggunakan bahasa Yunan?

            Tak ada jejak signifikan penggunaan bahasa Yunan di Indonesia. Orang Indonesia menggunakan bahasa ibunya masing-masing dan kini sepakat menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional, bahasa persatuan.

            Ke mana bahasa Yunan?

            Saya menunggu penjelasan atas itu.

            Kalau tidak ada yang bisa menjelaskan dan memang tidak akan pernah ada yang bisa menjelaskan, penjelasan dari Allah swt adalah yang paling benar. Mahabenar Allah swt dengan segala firman-Nya.

            Saya memahami penjelasan dari Allah swt adalah bahwa setiap suku di dunia ini memiliki sepasang suami-istri khusus yang diciptakan Allah swt sebagai leluhur mereka dengan fisik berbeda, bahasa berbeda, tantangan hidup berbeda, watak berbeda, serta dibekali modal pengetahuan minimal yang berlainan sesuai dengan tantangan hidup masing-masing. Untuk kebutuhan keberlangsungan hidup, Allah swt menciptakan alam sekitarnya agar modal minimal pengetahuan manusia itu dapat memanfaatkannya. Perbedaan suku-suku sengaja diciptakan agar manusia dapat saling belajar antara satu dengan yang lainnya agar tercipta kehidupan saling membantu dan saling mengisi dalam menyempurnakan kehidupan sebagaimana yang direncanakan Allah swt.

            Sepasang suami-istri Sunda melahirkan anggota-anggota sukunya, lalu berkembang dan belajar sepanjang hidupnya sehingga makmur dan kaya raya atas izin Allah swt. Semua suku di Indonesia pun seperti itu diciptakan Allah swt. Akan tetapi, sayang sekali orang-orang Indonesia yang sudah kaya raya, cerdas, kuat itu harus dihancurkan Allah swt karena terlalu banyak dosanya kepada Allah swt. Mereka yang lemah dan selamat dari hukuman Allah swt adalah orang-orang miskin dan terhina, tetapi tetap beriman dalam kehidupan masa Sundaland dengan jumlah sedikit yang kembali mencoba hidup baru dan berkembang sampai saat ini dalam kondisi wilayahnya sudah menjadi kepulauan berjumlah lebih dari 17.000 pulau bernama Indonesia. Kita adalah keturunan mereka.


            Sampurasun.

Wednesday, April 12, 2017

Agama Sang Prabu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Hasil dari penelusuran saya pribadi yang menyandingkan antara Al Quran dengan sosok Prabu Siliwangi menghasilkan simpulan bahwa Prabu Siliwangi adalah nabi kepercayaan Allah swt yang ditugaskan untuk menyebarkan Islam pada masa Sundaland. Nama agamanya belum disebut Islam saat itu, melainkan Sunda Wiwitan. Inti ajarannya adalah tauhid, praktiknya adalah budi pekerti dan kehalusan hati untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Jadi, ajaran Sunda Wiwitan merupakan dasar-dasar akhlak Islam pra-Muhammad saw yang kemudian disempurnakan oleh ajaran Islam Muhammad saw.

            Hasil penelusuran saya tersebut ternyata mendapatkan penguatan dari “pernyataan tulus” seorang peneliti yang bernama Dr. Nurhadi Magetsari. Ketika pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerja sama dengan Ecole Francaise D’Extreme-Orient-Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengadakan seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Silihwangi, Dr. Nurhadi Magetsari diberi tugas untuk mengungkapkan agama yang ada di tanah Sunda sebelum Islam.

            Dengan jujur dan bahasa yang tulus ia mengatakan, “Panitia pengarah telah menugaskan kepada saya untuk mengungkapkan agama yang berkembang sebelum Islam, khususnya yang didasarkan atas naskah-naskah Cariosan Prabu Silihwangi, Carita Pakuan, serta Bujangga Manik. Setelah mempelajari ketiganya secara sekilas, ternyata bahwa data yang berkenaan dengan Agama Buddha maupun Hindu yang dimuat dalam ketiga naskah itu hampir-hampir tidak ada.”

            Pernyataan Dr. Nurhadi Magetsari dalam makalahnya Kultus Dewa Raja Yang Didapat dari Cariosan Prabu Silihwangi (1991) tersebut menandakan bahwa dirinya kesulitan untuk mengambil simpulan apakah Prabu Siliwangi itu beragama Hindu atau Buddha karena sebelumnya banyak sarjana dari Belanda dan Inggris yang menduga bahwa Prabu Siliwangi beragama Hindu atau Buddha Tantra. Ia lebih jujur dibandingkan para sarjana Belanda dan Inggris itu. Ia tidak memaksakan kehendak jika memang tidak ada datanya. Ia tidak mau menyebarkan hoax tentang Prabu Siliwangi untuk alasan apa pun.

            Dua jempol untuk Nurhadi!

            Meskipun kesulitan, Nurhadi tetap mencoba menelusurinya dan hasilnya, cukup kalang kabut. Ia sendiri tampak bingung karena banyaknya masalah dalam naskah.

            Karena sebelumnya para sarjana Belanda dan Inggris berpendapat bahwa Prabu Siliwangi beragama Hindu dan atau Budha Tantra serta ada kalimat-kalimat dalam Carita Pakuan yang diperkirakan agak mirip kata-kata dalam Hindu, Nurhadi mencoba menelusurinya melalui agama Hindu. Padahal, kata-kata yang dipakai agak mirip saja  sangat tidak cukup untuk menyatakan seseorang beragama tertentu. Seperti kita saat ini, kata-kata wafat, shodaqoh, almarhum, almarhumah, insyaallah, dan masih banyak lagi digunakan oleh semua orang, baik muslim, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, ataupun penganut agama lokal. Seseorang yang mengucapkan kata almarhum untuk menyatakan kematian seseorang, sangat tidak tepat jika dipastikan seseorang itu beragama Islam hanya karena kata-kata itu berasal dari kaum muslimin. Kata-kata itu bukan menentukan agama seseorang, melainkan kebiasaan berbahasa di lingkungan tertentu.

            Hal itulah yang membuat Nurhadi merasa kebingungan dalam isi makalahnya. Ketika ia menelusuri agama Prabu Siliwangi lewat jalur Hindu, tampaknya seperti benar, misalnya, Prabu Siliwangi berguru pada beberapa ahli agama, lalu mempraktikan agama dengan ketat dan menghayati dharma. Sampai akhirnya ia mencapai puncaknya dengan gelar Dewa Raja yang tampan mirip Dewa Wisnu.

            Istilah Dewa Raja itu kalau dalam Islam mirip dengan Ulama-Umaro. Dewa berarti dia Tuhan atau kepercayaan Tuhan. Raja berarti dia pemimpin manusia. Dewa Raja bisa diartikan Tuhan yang menjelma menjadi manusia untuk memimpin manusia atau manusia yang diangkat Tuhan untuk menjadi pemimpin manusia.

            Keanehan dan kekusutan muncul ketika Prabu Siliwangi menuntut ilmu “kelepasan” pada Wairocana. Wairocana sendiri merupakan salah satu Tathgata yang tertinggi dari aliran Buddha Mahayana, khususnya ajaran Mantrayana.

            Nurhadi mengatakan bahwa ini sebuah masalah. Oleh sebab itu, ia tidak berani menyimpulkan apakah Prabu Siliwangi beragama Hindu atau Buddha Tantra.

            Sangatlah tidak mungkin jika Prabu Siliwangi beragama Hindu sehingga mencapai puncaknya menjadi mirip Dewa Wisnu dengan segala keagungannya, kemudian mempraktikkan ajaran Budha.

            Dr. Nurhadi sendiri mempertanyakan hal itu, “Mengapa manusia yang sudah mencapai tingkat kedewaan juga diterangkan masih menempuh dan kemudian mencapai kebudhaan?”

            Bagi kita yang hidup pada zaman ini. Hal itu jelas merupakan kekacauan.

            Bagaimana mungkin orang bisa mempraktikan dua agama sekaligus, yaitu Hindu dan Budha?

            Kalau mengikuti hukum positif saat ini, perilaku mengamalkan dua ajaran agama sekaligus, bisa dihukum penjara karena akan ada orang yang tersinggung, lalu melaporkannya sebagai tindakan penghinaan, penodaan, penistaan, ataupun pelecehan terhadap agama tertentu. Orang ini bisa dituding kafir, sesat, dan bidah.

            Hal itu sangat bertentangan dengan sosok Prabu Siliwangi yang penuh keagungan dan keluhuran. Artinya, tidak mungkin Prabu Siliwangi memeluk dua agama sekaligus. Tidak mungkin pula Prabu Siliwangi pindah agama setelah sukses menjadi Dewa Raja dalam agama Hindu, lalu meneruskan belajar menjadi Budha supaya karirnya meningkat.

            Memangnya kuliah?

            Habis S1 terus S2?

            Supaya gelar, kedudukan, dan honornya naik?

            Ada dua penjelasan untuk kekusutan tersebut. Pertama, naskah-naskah kunonya sendiri sudah kalang kabut dalam arti tidak murni karena ditulis oleh para juru pantun yang mendapatkan pengaruh dari penguasa. Kedua, para peneliti tidak memahami ajaran Islam dan Sunda Wiwitan dengan baik.

            Praktik-praktik keagamaan yang dilakukan Prabu Siliwangi sebetulnya sudah ada dalam ajaran Islam, misalnya, uzlah (memisahkan diri dari keramaian), menuntut ilmu, khalwat, shaum, dzikir, riyadhoh, bangun malam, dan lain sebagainya. Sesungguhnya, tapa laku yang dilakukan Prabu Siliwangi tak lain dan tak bukan adalah dalam rangka mengamalkan ajaran Islam pra-Muhammad saw, yaitu ajaran Sunda Wiwitan. Memang dalam praktik lahiriahnya banyak hal yang sama dengan Hindu dan Budha yang juga mengenal pengekangan diri untuk mencapai kesempurnaan.

            Hal yang sangat menyesatkan adalah anggapan yang sangat keliru bahwa Islam adalah agama yang berasal dari Arab. Oleh sebab itu, karena bahasa dan kalimat yang digunakan bukan berbahasa Arab, disebutlah bukan Islam. Padahal, Allah swt tidak pernah mengatakan bahwa Islam berasal dari Arab dan nabi harus selalu berasal dari Arab atau Timur Tengah. Nabi itu ada di seluruh penjuru dunia dengan bahasa sukunya masing-masing di kalangan umatnya masing-masing. Di situ ada sebuah bahasa tertentu, di situlah ada nabi. Di situ ada umat, di situlah ada nabi. Untuk lebih jelasnya, baca tulisan saya yang berjudul Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam.

            Jadi, Prabu Siliwangi itu adalah nabi yang mengajarkan Islam pra-Muhammad saw dengan nama agama Sunda Wiwitan. Ia hidup pada masa Sundaland. Karena sepeninggal Nabi Prabu Siliwangi, Daud as, Sulaeman as, dan nabi-nabi lain orang-orang Indonesia ini melakukan dosa-dosa besar, dihancurkanlah dunianya oleh Allah swt.

            Itulah salah satu kesulitan kita dalam memahami Prabu Siliwangi, termasuk sejarah Indonesia secara keseluruhan. Peninggalan kebesaran masa lalu kita banyak yang tenggelam dan terkubur akibat kemurkaan Allah swt melalui bencana mahadahsyat yang menghancurkan Benua Sundaland menjadi kepulauan bernama Indonesia.

            Sampurasun.