Tuesday, November 9, 2010

Bencana Merapi dalam Uga Wangsit Siliwangi dan Ramalan Sabdo Palon

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon

Sebenarnya, berbagai hal termasuk bencana-bencana yang saat ini tengah berlangsung, leluhur kita sudah mewanti-wantinya ratusan tahun silam. Mereka sudah menggambarkannya untuk kita. Akan tetapi, sayangnya, kita, kebanyakan, terutama saya sendiri, sempat kurang atau bahkan tidak menghormati wasiat-wasiat leluhur tersebut. Hal itu disebabkan kita sudah terlalu lama berada dalam kehidupan yang terlalu tinggi menilai sesuatu yang bersifat materi, duniawi. Lingkungan sudah membentuk setiap pribadi sebagai sosok yang disiapkan untuk mencari materi, kekayaan, kekuasaan dengan mengesampingkan hal-hal yang bernilai spiritual. Kita sangat bangga jika sudah bisa mengumpulkan materi yang banyak dan merasa lebih hebat jika menjadi orang nomor satu paling banyak hartanya di antara orang-orang dekat, apalagi jika mampu menjadi paling kaya di lingkungan atau komunitas tertentu. Padahal, Allah swt sama sekali tidak pernah menilai kita dari banyak-sedikitnya materi yang kita punyai. Allah swt hanya menilai tingkat ketakwaan kita kepada-Nya, itu saja, tidak ada yang lain. Akibatnya, kita menjadi kurang waspada terhadap fenomena-fenomena alam dan sama sekali kurang atau mungkin tidak siap untuk menghadapinya.

Kita bahkan sering menganggap bahwa wasiat-wasiat leluhur itu merupakan produk yang kolot, kuno, terbelakang, dan tidak ilmiah. Padahal, sesungguhnya, memiliki nilai ilmiah yang tinggi jika dipelajari secara lebih serius. Di samping itu, para leluhur kita itu memberikan wasiat tersebut atas dasar tanggung jawabnya terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pengabdian kepada Tuhan. Di dalam wasiat tersebut terdapat nuansa cinta, kasih sayang, tanggung jawab, perhatian, kecerdasan, pengabdian, kemuliaan, keluhuran, kesucian, serta tentunya keperkasaan.

Bencana Merapi dan bencana-bencana lain jika kita mengikuti wasiat leluhur tersebut sesungguhnya merupakan akibat dari tingkah laku manusia yang sudah kelewat batas dari nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Alam dan kita sesungguhnya terhubung sangat erat. Karena manusia melakukan banyak keburukan, terjadilah ketimpangan dalam hubungan tersebut. Kita mungkin tidak merasakannya, tetapi sebetulnya disharmoni tersebut telah dan terus terjadi. Kita dan alam sekitar itu terhubung karena kita semuanya berasal dari Zat Yang Satu, Allah swt.

Berikut ini saya kutipkan satu paragraf dari Uga Wangsit Siliwangi.

Dalam bahasa Sunda.

“Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui, tapi engké lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat. Urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa jaya, jaya deui sabab ngadeg ratu adil. Ratu adil nu sajati.”

Dalam bahasa Indonesia.

“Dengarkan semuanya! Zaman bakalan ganti lagi, tetapi nanti setelah Gunung Gede meletus yang disusul meletusnya tujuh gunung. Gempar lagi seluruh dunia. Orang Sunda dipanggil-panggil. Orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Senegara bersatu lagi. Nusa jaya, jaya lagi sebab berdiri Ratu Adil. Ratu Adil yang sejati.

Dalam paragraf tersebut, ada pernyataan bahwa Gunung Gede akan meletus. Ada dua pendapat mengenai hal ini. Yang dimaksud Gunung Gede itu bisa memang gunung yang bernama Gede, bisa pula gunung gede dalam arti “gunung yang berukuran besar”. Dalam bahasa Sunda, gede itu artinya besar. Oleh sebab itu, ada dua penafsiran mengenai gunung tersebut.

Jika memang yang dimaksud adalah gunung yang bernama Gede, lebih tepatnya Gunung Gede, kita akan menghadapi bencana yang lebih besar daripada Gunung Merapi. Hal itu disebabkan Prabu Siliwangi mengatakannya dengan pasti, sedangkan Merapi yang sudah meletus menakutkan saja sedikit pun tidak disingung-singgung. Artinya, peristiwa itu adalah sangat penting untuk diperhatikan. Berarti pula, Merapi itu hanya bagian kecil dari peristiwa yang akan datang dengan bencana yang lebih hebat lagi. Setelah Gunung Gede meletus, bakalan ada lagi tujuh gunung yang meletus. Dunia pun gempar dibuatnya. Kita kini tinggal menunggu kejadiannya dan sudah semestinya banyak mendekatkan diri kepada Allah swt.

Jika yang dimaksud adalah gunung yang berukuran besar, gunung tersebut adalah Gunung Merapi yang sekarang sedang sangat aktif. Dua pendapat mengenai gunung tersebut dapat dipahami dengan mudah karena yang namanya wangsit itu turun melalui lisan, bukan tulisan. Wangsit yang turun secara lisan itu, kemudian ditulis oleh para penerusnya. Para penyampai wangsit itu menulisnya dengan huruf awal kapital, Gunung Gede, bukan menulisnya gunung gede. Hal itu disebabkan dalam kalimat lisan, tidak jelas mana yang harus diberi kapital. Oleh sebab itu, wajar jika ada dua pendapat.

Saya sendiri berharap bahwa bukan Gunung Gede yang dimaksud, melainkan gunung gede atau gunung besar yang namanya Merapi. Dengan demikian, tinggal tujuh gunung lagi yang akan meletus meskipun menurut sumber resmi yang banyak dilansir media massa, ada 22 gunung berapi yang aktivitasnya mulai meningkat secara mencolok akhir-akhir ini.

Yang membuat saya sedih adalah Prabu Siliwangi mengatakannya anggeus bitu, bukan enggeus bitu. Kalau enggeus bitu, artinya ‘sudah meletus’, sedangkan anggeus bitu, artinya ‘meletus secara tuntas’. Karena kata yang digunakannya adalah anggeus bitu, Merapi saat ini tampaknya belum anggeus bituna, ‘belum tuntas meletusnya’. Merapi masih terus memuntahkan laharnya. Tak seorang ahli di dunia pun tahu kapan berhentinya.

Hal itu merupakan pertanda dari Allah swt sendiri bahwa Dia mampu melakukan apa saja dari jalan mana saja tanpa bisa diduga sebelumnya oleh manusia, bahkan oleh malaikat sekalipun. Dia adalah Mahakuat yang mampu melumatkan apa saja dan siapa saja yang dikehendaki-Nya sendiri. Peristiwa itu akan menjadi pelajaran teramat berharga bagi orang-orang yang berpikir.

Harapan saya pun disandarkan pada ramalan Sabdo Palon yang mengatakan bahwa perubahan zaman itu ditandai dengan meletusnya Gunung Merapi. Itu bisa berarti bahwa yang dimaksud Prabu Siliwangi adalah gunung yang berukuran besar, namanya Gunung Merapi.

Berikut saya kutipkan ramalan Sabdo Palon dalam bahasa Indonesia. Saya memang tidak menyertakan bahasa Jawa sebagai sumber aslinya karena cape ngetikna. Kalau Uga Wangsit Siliwangi kan berbahasa Sunda, jadi saya tidak terlalu cape ngetiknya karena saya orang Sunda. Redaksi ramalan tersebut sengaja saya ubah sedikit agar lebih mudah dipahami dan tidak menimbulkan fitnah karena jika tidak hati-hati membacanya, bisa timbul kesalahpahaman atau fitnah yang sangat merugikan banyak orang.

Ramalan Sabdo Palon

Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang Negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh punakawannya yang bernama Sabdo Palon Noyo Genggong.

Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya, “Sabdo Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama yang suci dan baik.”

Sabdo Palon menjawab kasar, “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang setanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah Jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.

Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun, Sang Prabu, kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun, saya akan mengajarkan budi pekerti lagi. Saya sebar ke seluruh tanah Jawa.

Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan! Mereka akan saya jadikan makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan! Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini, yaitu bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.

Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Saya sudah mulai menyebarkan lagi ajaran budi pekerti. Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat diubah lagi.

Kelak akan datang waktunya yang paling sengsara di tanah Jawa ini, yaitu pada tahun Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai, sudah datang di tengah-tengah, tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.

Bahaya yang mendatangi tersebar ke seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan, tidak mungkin disingkiri lagi sebab dunia ini ada ditangan-Nya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tani pun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayu pun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis, banyak maling. Siang hari banyak begal.

Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit, sorenya telah meninggal dunia.

Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat, persis lautan pasang.

Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besar pun terhanyut dengan gemuruh suaranya.

Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal, sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikit pun.

Gempa bumi tujuh kali sehari sehingga membuat susahnya manusia. Tanah pun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakit pun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.”

Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang tiba-tiba. Dirinya tidak tampak lagi. Ia kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun, bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.

Demikianlah, Gunung Merapi sudah dikatakan sejak ratusan tahun silam akan meletus. Sayangnya, kita, terutama mereka yang sekarang berkuasa tidak memperhatikannya. Bahkan, sering mengolok-olok wasiat-wasiat para leluhur tersebut. Padahal, wasiat-wasiat itu sangat berguna bagi kita yang hidup saat ini. Memang benar kita harus hati-hati membacanya agar tidak terperosok dalam jurang fitnah.

Dalam istilah pewayangan, terutama wayang kulit, hadirnya Sabdo Palon mengajarkan kembali budi pekerti yang ditandai dengan letusan menggelegar Gunung Merapi dikenal dengan istilah Semar Ngejawantah.

Adapun Prabu Siliwangi mengatakannya sebagai tanda perubahan zaman. Jaman bakal ganti deui.


Prabu Siliwangi Bertutur tentang Kejahatan Zaman Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon

Sebelum ngahiang, ‘pergi bersatu menuju Tuhan’, Prabu Siliwangi berpesan kepada pengikutnya yang berupa gambaran pada masa depan. Ia menggambarkan hiruk pikuk yang terjadi dalam zaman demokrasi.

Zaman demokrasi tanpa embel-embel dalam arti bukan terpimpin dan bukan Pancasila sejatinya dimulai pada masa kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur. Era demokrasi bukanlah dimulai masa Presiden Habibie meskipun Habibie sendiri merupakan Presiden RI pertama yang dianggap mampu melangsungkan Pemilu yang lebih jujur, adil, langsung, bebas, dan rahasia dibandingkan Pemilu-Pemilu sebelumnya pada Orde Baru. Hal itu disebabkan era Habibie masih satu zaman dengan Soeharto. Oleh sebab itu, sosok Habibie tidak disebut-sebut dalam Uga Wangsit Siliwangi.

Perlu diketahui, Prabu Siliwangi menggambarkan kondisi setiap zaman dengan menekankan pada zaman itu sendiri, bukan pemimpinnya. Oleh sebab itu, Prabu Siliwangi menandai setiap zaman dengan presiden atau pemimpin yang mengawali zaman tersebut. Ia berpandangan bahwa kondisi zamanlah yang menggerakkan sosok pemimpin dan rakyatnya sekaligus. Dengan demikian, tidak seluruh sosok presiden RI disebut dalam Uga Wangsit Siliwangi. Dalam uganya, ia hanya menyebut atau menggambarkan sosok Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Hal itu disebabkan zaman Soekarno dan zaman Soeharto berbeda zaman sekaligus berbeda orang. Adapun Habibie masih satu zaman dengan Soeharto, jadi namanya tidak disebut-sebut. Zaman pun berubah, yaitu zaman Gus Dur, zaman reformasi, zaman demokrasi. Zaman Gus Dur ini berlanjut sampai sekarang, sampai tulisan ini diturunkan. Oleh sebab itu, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak disebut-sebut namanya karena masih satu zaman dengan Gus Dur.

Berbeda dengan prediksi-prediksi Jawa yang lebih menekankan sosok presiden dibandingkan zaman. Dalam prediksi Jawa, sosok pemimpin itulah yang mempengaruhi zaman. Meskipun demikian, gambaran keseluruhan mengenai keadaan Indonesia, baik menurut Uga Wangsit Siliwangi maupun prediksi Jawa adalah sama.

Kitab Musarar Jayabaya merinci para pemimpin Indonesia sebagai berikut.

  1. Lung Gadung Rara Nglikasi: Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita. Ini menunjuk pada sosok Ir. Soekarno.
  2. Gajah Meta Semune Tengu Lelaki: Raja yang disegani/ditakuti, namun nista dan hina. Sosoknya menuju kepada Soeharto.
  3. Panji Loro Semune Pajang Mataram: Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan. Sosok Gus Dur memang adu kekuatan dengan Megawati.
  4. Rara Ngangsu, Randa Loro Nututi Pijer Atetukar: Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya. Sosok ini adalah Megawati yang selalu diintai kedua saudara perempuannya.
  5. Tan Kober Apepaes Tan Tinolih Sinjang Kemben: Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan. Sosoknya adalah Susilo Bambang Yudhoyono.
Habibie tidak disebut-sebut karena masih dianggap merupakan kepanjangan tangan atau sisa-sisa kekuasaan Soeharto.

Adapun R. Ng. Ronggowarsito merinci pemimpin Indonesia sebagaimana berikut ini.
  1. Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro: Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (kinunjoro) yang membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan menjadi pemimpin yang sangat tersohor di seluruh jagat (murwo kuncoro). Tokoh yang dimaksud adalah Soekarno.
  2. Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar: Tokoh pemimpin yang berharta dunia (mukti) juga berwibawa/ditakuti (wibowo), namun mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk, dan selalu dikaitkan dengan segala keburukan/kesalahan (kesandung kesampar). Tokoh ini adalah Soeharto.
  3. Satrio Jinumput Sumela Atur: Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (jinumput), tetapi hanya dalam masa transisi (sumela atur). Tokoh ini menunjuk kepada B.J. Habibie.
  4. Satrio Lelono Tapa Ngrame: Tokoh pemimpin yang suka mengembara/keliling dunia (lelono), tetapi seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan religius yang cukup/rohaniawan (tapa ngrame). Tokoh ini adalah K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Dur.
  5. Satrio Piningit Hamong Tuwuh: Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (hamong tuwuh). Tokoh yang dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri.
  6. Satrio Boyong Pambukaning Gapuro: Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (boyong) dan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan (pambukaning gapuro). Banyak pihak yang meyakini tafsir dari tokoh yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono.
Demikian, mudah-mudahan didapat sedikit kejelasan mengenai perbedaan antara Uga Wangsit Siliwangi dengan prediksi-prediksi berdasarkan spiritualis Jawa.

Kembali pada maksud tulisan ini. Prabu Siliwangi menggambarkan kejahatan-kejahatan dalam masa demokrasi yang terjadi saat ini kita rasakan bersama.

Pesannya dalam bahasa Sunda.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Dalam bahasa Indonesia.

Terus, berdiri lagi raja, tetapi raja buta yang membangun gerbang yang tidak boleh dibuka, membangun pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran di tengah jalan, memelihara elang di pohon beringin karena memang raja buta! Bukan buta pemaksa jahat yang sewenang-wenang, tetapi buta tidak dapat melihat, buta matanya. Buaya dan serigala, kucing garong dan monyet mencakar-cakar dan menggerogoti rakyat yang sedang dalam keadaan susah. Sekalinya ada yang mengingatkan, yang diburu bukan binatangnya, melainkan orang yang mengingatkan tersebut. Makin lama makin lama, banyak raksasa yang jahat. Mereka menyuruh menyembah lagi berhala. Pergaulan anak muda salah jalan. Kesalahan pergaulan itu diakibatkan oleh salahnya aturan dari pemerintah. Undang-undang dan hukum hanya ada di mulut dan dalam diskusi-diskusi kosong tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan para pejabatnya bukan ahlinya, buah padi banyak yang tidak masuk ke dapur rakyat. ........................ Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

Dalam uga tersebut, Prabu Siliwangi menggambarkan bahwa pada masa demokrasi ini banyak sekali pemimpinnya. Memang pada saat demokrasi merajalela bertebaran para pemimpin yang berada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, ditambah lagi mereka yang bergerak di LSM-LSM. Para pemimpin itu digambarkannya sebagaimana binatang dengan sifat-sifatnya, yaitu buaya, serigala, kucing garong, dan monyet.

Buaya memiliki kekejaman yang luar biasa. Ia memiliki habitat di air yang tidak setiap makhluk hidup bisa bertahan. Kalau mendapatkan mangsa, dia putar mangsanya sampai seluruh tulang-belulangnya patah-patah, lalu dimakannya hingga habis secara bertahap. Serigala memiliki gigi tajam dan wajah yang menyeramkan. Dalam keadaan sendiri saja ia bisa membunuh mangsa yang lebih besar daripada dirinya. Akan tetapi, itu jarang dilakukannya. Serigala biasanya membunuh dengan cara berkelompok, keroyokan. Dengan gigi tajamnya ia bisa merobek-robek mangsanya untuk kemudian dimakan secara beramai-ramai dalam pesta pora darah. Kucing garong memiliki kebiasaan yang mengesalkan. Dia mencuri makanan yang akan kita santap, baik mentahnya apalagi kalau sudah dimasak. Jika kita tidak waspada, bisa-bisa makanan yang sudah ada di meja makan habis dicurinya. Meskipun bisa merebutnya kembali, biasanya kita enggan untuk mengambilnya karena sudah digigitnya dan itu menjijikan. Monyet memiliki sifat serakah yang luar biasa. Ia tidak hanya cukup makan sampai kenyang, tetapi menyimpan pula makanan di dalam mulutnya sampai pipinya menonjol, mengembang besar sekali.

Itulah sifat-sifat manusia yang berkuasa pada masa reformasi. Memang tidak semuanya, masih banyak yang baik-baik, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan memiliki kekuatan yang sangat lemah dibandingkan dengan mereka yang punya sifat binatang tadi.

Para manusia binatang itu pekerjaannya adalah mencakar-cakar rakyat yang sedang hidup susah. Mereka melakukannya dengan menggunakan hak-haknya sebagai penguasa. Rakyat pun yang menjadi mangsanya semakin hari semakin susah.

Apabila di antara elemen bangsa ada yang memberikan peringatan, protes, memberitahukan tentang berbagai kejahatan dengan harapan ada perbaikan, yang diurus bukan masalahnya, tetapi orang-orang yang mengingatkan itulah yang disudutkan dan dipersulit hidupnya. Dalam zaman ini banyak sekali aktivis bahkan pejabat tinggi sekalipun yang digeser kedudukannya dan dipersempit ruang gerak hidupnya gara-gara dianggap membukakan kedok kejahatan dalam pemerintahan.

Banyak di antara penguasa yang duduk pada awal-awal masa reformasi untuk membenahi kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik, berubah menjadi raksasa-raksasa jahat yang menggunakan kewenangannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Dengan adanya demokrasi dan pemekaran wilayah, raksasa-raksasa jahat ini semakin banyak jumlahnya, bejibun.

Karena telah mengalami nikmatnya kekuasaan dan memahami dengan baik celah-celah untuk menjahati dan menipu rakyat. Mereka tambah senang sehingga mempertahankan sistem politik dan struktur politik saat ini. Setiap saat dalam berbagai kesempatan mereka menggemakan bahwa demokrasi itu adalah sistem politik yang terbaik, paling unggul, tidak ada yang mengalahkan. Mereka pun berupaya terus agar rakyat percaya terhadap tipuannya itu. Mereka terus menanamkan keyakinan itu kepada rakyat. Akibatnya, banyak sekali rakyat yang benar-benar meyakininya. Itulah yang dimaksud Prabu Siliwangi dengan naritah deui nyembah berhala, ‘menyuruh lagi menyembah berhala’. Berhala yang dimaksud adalah berhala demokrasi dan pemikiran-pemikiran kapitalis dengan slogan suara rakyat suara Tuhan. Brengsek benar mereka, slogan itu sesungguhnya tidak masuk akal dan tidak masuk ilmu pengetahuan!

Anak-anak muda salah pergaulan. Tak hormat lagi kepada yang lebih tua. Rasa malu sudah hampir sirna. Derajat manusia pun semakin rendah. Hal itu disebabkan berhala demokrasi tadi yang memberikan ruang terlalu besar untuk hidup terlalu bebas tanpa aturan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan manusia. Pemerintah pun mengamini kebebasan itu. Tak bisa berbuat apa-apa meskipun hatinya tahu bahwa hal itu tidak benar.

Hukum dan aturan hanya ada di mulut dan diskusi-diskusi kosong di berbagai media dan beragam seminar tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan dalam alam demokrasi hampir setiap penguasa, setiap pejabat memiliki keterkaitan hutang-piutang dengan pihak lain, baik itu bernilai materi maupun nonmateri.

Dengan keadaan yang demikian itu, sudah pasti rakyat tetap saja dalam keadaan susah bahkan terus meluncur ke arah kesusahan yang lebih mengerikan. Untuk bisa makan saja, sulit bukan main. Masih beruntung kalau ada yang meminjami uang untuk makan. Kalau tidak, bakal kelaparan karena dapurnya tidak ngebul.

Dalam akhir paragraf tersebut, Prabu Siliwangi memberikan penerangan bahwa yang salah adalah rakyat-rakyat juga yang ikut pesta demokrasi dengan memilih para pendusta, koruptor, pengkhianat, pengingkar janji, dan tidak ahli dalam bidangnya. Rakyat telah tertipu dengan janji manis demokrasi dan terus berada dalam ketertipuannya. Menyedihkan memang. Demokrasi itu lingkaran syetan yang telah berputar sempurna sehingga rakyat yang susah itulah yang dipersalahkan karena telah mendukung sistem politik yang kampungan dan hina itu.

Sang Prabu pun menegaskan bahwa orang-orang pintar itu banyak, tetapi pintarnya keblinger. Orang-orang pintar itu tidak menggunakan kepintarannya untuk kemuliaan manusia dan kemanusiaan, tetapi sama dengan binatang, yaitu sekedar untuk mencari makan dan berupaya untuk hidup lebih mewah.

Itulah kejahatan demokrasi dalam gambaran Uga Wangsit Siliwangi. Jika di antara pembaca ada yang menolak tulisan ini, sebutkan di mana kesalahannya. Toh, itu semua memang terjadi bukan?

Kerusakan negara akibat demokrasi bukan hanya itu. Prabu Siliwangi pun menjelaskan lebih lanjut.

Dalam bahasa Sunda.

Buta-buta nu baruta. Mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

Dalam bahasa Indonesia.

Raksasa-raksasa yang beringas semakin hari semakin bandel, sombong, pongah, brutal, dan sewenang-wenang melebihi kerbau bule. Mereka tidak sadar bahwa zaman manusia sudah dikuasai binatang!

Bukankah ini merupakan kenyataan pula?

Di saat saudara-saudara kita kesusahan, kelaparan, dan diderita bencana alam mengerikan, raksasa-raksasa itu malah pergi ke luar negeri. Tak ada rasa empati. Membangun gedung-gedung megah. Terus menghamburkan uang untuk kepentingan politiknya. Berkelit dari segala tuduhan hukum meskipun sudah jelas-jelas salah. Mereka tetap masih berdasi mengendarai mobil-mobil mewah dalam keadaan bersalah, sementara rakyat kecil yang terkait hukum mendekam berkepanjangan dalam buian, padahal belum tentu bersalah. Benar kata Prabu Siliwangi bahwa banyak penguasa yang kelakuannya sudah melebihi kerbau bule, melebihi penjajah asing berkulit putih itu. Kita sebenarnya lebih menderita dibandingkan penjajahan Belanda dulu. Mereka tidak sadar dan rakyat pun banyak yang tidak sadar bahwa zaman ini adalah zamannya negeri dikuasai para binatang!

Hentikan demokrasi! Ubah sistem dan struktur politik sesuai dengan jati diri dan jiwa bangsa dengan melalui rekam jejak para leluhur kita.