Thursday, February 16, 2017

Para Saksi Kehancuran Indonesia

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Bukan kehancuran Indonesia yang sekarang yang saya maksudkan, melainkan Indonesia yang dulu sebelum namanya bukan Indonesia ketika masih merupakan daratan Sundaland. Masa depan Indonesia yang sekarang masih belum diketahui apakah akan hancur atau bertambah mulia. Meskipun menjadi mulia dan besar, pada akhirnya akan hancur juga oleh kiamat karena semuanya ada waktu berakhirnya. Segala sesuatu yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Satu-satunya zat yang tidak berawal dan tidak berakhir hanyalah Allah swt. Oleh sebab itu, Allah swt tidak akan pernah hancur. Tugas kita sekarang adalah menjadikan Indonesia mulia dan besar sehingga rakyatnya pun menjadi mulia dan besar.

            Dulu, ketika Indonesia masih berupa Benua Sundaland, rakyat dan kerajaan-kerajaannya teramat makmur, mudah sandang, murah pangan, dan ketinggian teknologinya tak ada bandingannya di dunia ini. Bangunan-bangunan megah seperti di Gunung Padang dan ratusan, bahkan ribuan candi dibangun dengan sangat teliti dan rumit sehingga orang-orang sekarang pun tak memiliki kemampuan untuk menjelaskan bagaimana bangunan-bangunan megah itu bisa berdiri kokoh dan indah tiada tara. Di samping itu, makanan tidak pernah kekurangan, semua orang hidup dalam keadaan kaya raya dengan segala perhiasan-perhiasan dunianya. Akan tetapi, sayangnya, manusia memang kerap lupa dan menjadi serakah, tak pernah puas dengan apa yang telah didapatnya. Banyak manusia yang selalu ingin lebih dan lebih lagi. Ketika keinginannya untuk menjadi lebih kaya raya tidak terpenuhi dan doanya tidak dikabulkan Allah swt, mereka pun kecewa. Kekecewaan mereka pun mengubah sikap dan keyakinan hidup mereka kepada Allah swt. Mereka mencari sesembahan lain yang dianggap mampu memuaskan keinginan mereka. Akibatnya, mereka menjadi kafir dan bersahabat erat dengan Iblis Laknatulllah. Ketika kekafiran mereka menjadi-jadi dan meninggalkan ajaran para nabi, seperti, Nabi Prabu Siliwangi as, Nabi Sulaeman as, Nabi Daud as, dan nabi-nabi lainnya, Allah swt pun murka dan menghancurkan mereka sehancur-hancurnya sehingga menjadi serpihan-serpihan kecil. Benua Sundaland pun hancur berkeping-keping menjadi kepulauan seperti yang sekarang ini bernama Indonesia.

“… Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.” (QS 34 : 19)

“Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS 34 : 17)


Mereka yang Selamat Menjadi Saksi Kehancuran
Ketika Allah swt menghancurkan Benua Sundaland dengan sangat dahsyat yang menurut Plato, filsuf Barat, terjadi dalam satu hari, orang-orang Indonesia pun berlarian ketakutan kesana-kemari tak tentu arah, bingung dan cemas, para ibu meninggalkan bayi yang sedang disusuinya, terjadi kerusakan dalam organ-organ tubuh akibat getaran dan kepanikan luar biasa, serta sebagian kabur ke berbagai penjuru dunia. Bencana dahsyat itu benar-benar mengerikan dan sampai hari ini belum ada lagi bencana sesadis itu. Saking dahsyatnya, orang-orang sombong dan angkuh pun hancur lebur, baik fisik maupun jiwanya.

            Beberapa dari mereka yang kafir, tetapi tidak terlalu kafir diselamatkan Allah swt dari bencana spektakuler itu. Namun, mereka mulai gila dan kehilangan akal, tak jelas lagi pandangan dan arah hidup mereka. Allah swt tahu itu semua, kemudian menyelamatkan jiwa dan pikiran mereka serta kembali menenangkan mereka agar pikiran mereka dapat kembali lurus dan menyadari berbagai kesalahan dan kebodohan yang telah diperbuat mereka.

            “Dan syafaat (pertolongan) di sisi-Nya hanya berguna bagi orang yang telah diizinkan-Nya (memperoleh syafaat itu). Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘(Perkataan) yang benar,’ dan Dialah Yang Mahatinggi, Mahabesar.” (QS 34 : 23)

            Orang-orang ini sadar atas kesalahan dirinya yang telah melupakan ajaran para nabi terdahulu. Mereka menyadari bahwa peringatan-peringatan dan ancaman-ancaman dari para nabi terdahulu adalah kebenaran dan bukan kebohongan karena mereka telah mengalaminya sendiri. Merekalah para saksi atas hancurnya Benua Sundaland sehingga menjadi kepulauan seperti sekarang ini.

            Beberapa dari mereka memulai kembali membangun perkampungan dengan menjaga setiap nasihat-nasihat leluhur mereka yang berasal dari para nabi terdahulu. Mereka bertahap membangun kerajaan-kerajaan kecil pada berbagai pulau dan tetap menjadikan ajaran para nabi mereka sebagi panduan. Begitulah kearifan lokal mulai terjadi. Sebagian lagi memilih untuk menjauhi kehidupan dunia karena saking takutnya kepada Allah swt yang bisa kapan saja menjatuhkan bencana dahsyat atas kekafiran mereka. Merekalah orang-orang yang anti pembaharuan, anti pembangunan, dan anti perubahan. Mereka tetap kuat dalam adat mereka dan tidak ingin berubah, bahkan menolak siapa pun dan apa pun yang dapat mengubah keyakinan dan cara hidup mereka. Mereka tidak peduli dengan perkembangan dan modernisasi. Mereka hanya peduli pada kehidupan spiritual dan menjaga diri agar Allah swt tidak lagi menjatuhkan bencana yang sangat dahsyat.

            Salah satu yang tidak menginginkan perubahan drastis dan menolak apa pun yang menurut anggapan mereka bisa membawa kerusakan adalah warga Kanekes yang biasa disebut Suku Baduy. Mereka benar-benar selektif atas hal-hal yang datang dari luar diri mereka. Mereka tak ingin diganggu dan tidak ingin berubah. Leluhur mereka secara turun-temurun mengingatkan bahaya apabila meninggalkan berbagai peribadatan kepada Allah swt. Leluhur mereka benar-benar mengalami bagaimana perubahan keyakinan dan kemunkaran mengakibatkan kehancuran luar biasa. Oleh sebab itu, mereka memilih untuk tidak meninggalkan peribadatan dan pengabdian kepada Allah swt dengan cara mereka sendiri sesuai syariat yang kemungkinan besar berasal dari Nabi Prabu Siliwangi as. Hal itu disebabkan mereka meyakini adanya Buana Larang, Buana Tengah, dan Buana Nyungcung.

            Apabila sampai meninggalkan adat dan keyakinan leluhur, mereka sangat takut Allah swt akan menimpakan azab seperti yang sudah-sudah, bahkan lebih besar. Hal ini sebagaimana yang dikatakan mereka sendiri.

            Ti meletuk datang ka meletek, ti segir datang ka segir deui. Lamun dirobah buyut kami lamun hujan liwat ti langkung lamun halodo liwat ti langkung. Tengsetna lamun buyut kami dipaksa dirobah cadas malela jadi tiis, buana larang buana tengah buana nyungcung pinuh ku sagara (Judistira Garna, 1991, Masyarakat Baduy dan Siliwangi [Menurut Anggapan Orang-Orang Baduy Masa Kini]).

            Apabila kita terjemahkan secara bebas, perkataan orang Baduy itu kira-kira akan seperti berikut.

            Dari subuh sampai subuh lagi, dari musim hujan sampai musim hujan lagi, dari musim kemarau sampai kemarau lagi, kami tidak akan berubah. Pendek kata, kalau keyakinan dan kebiasaan kami diubah, batu cadas dan hutan tidak akan lagi bermanfaat, seluruh dunia nyata dan dunia gaib akan dibanjiri lautan.

            Hal yang membuat saya sangat tertarik adalah kata-kata terakhir dalam kalimat mereka, yaitu “… pinuh ku sagara”, artinya “… dibanjiri lautan.”

            Mengapa mereka mengatakan bahwa azabnya itu adalah dibanjiri lautan?

            Mengapa bukan azab berupa angin puyuh puting beliung topan tornado?

            Mengapa bukan kehancuran akibat kebakaran hutan yang sangat masif atau bencana lainnya?

            Hal itu menunjukkan bahwa leluhur mereka memiliki pengalaman yang sangat buruk dengan bencana banjir yang meluap dari lautan lepas hingga menenggelamkan gunung-gunung tinggi di Indonesia. Hal itu pun mengisyaratkan bahwa memang Benua Sundaland itu adalah tempat yang sangat makmur dan hebat yang disebut-sebut orang sebagai Atlantis sebagaimana yang dikisahkan oleh Plato. Sayangnya, Benua Sundaland yang kini bernama Indonesia dan sekitarnya itu harus hancur berkeping-keping, bagai bubuk roti yang disebarkan hingga berupa kepulauan seperti sekarang ini. Hal itu disebabkan oleh kemarahan Allah swt akibat kedurhakaan dan keserakahan penduduknya yang keterlaluan hingga meninggalkan segala peribadatan dan mengalihkan keimanan mereka kepada Iblis Laknatullah, padahal Allah swt telah menjadikan penduduk Benua Sundaland adalah manusia paling unggul di muka Bumi.

            “Dan sungguh, Iblis telah dapat meyakinkan terhadap mereka kebenaran sangkaannya, lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian dari orang-orang Mukmin.” (QS 34 : 20)

            “… mereka mendustakan para rasul-Ku. Maka (lihatlah) bagaimana dahsyatnya akibat kemurkaan-Ku.” (QS 34 : 45)

            Hal itu harus menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa jika kita mengingkari Allah swt dan tak ada lagi orang yang mampu menjaga syariat Allah swt untuk tetap dalam kebenaran sehingga menganggap bahwa dosa-dosa mereka sebagai hal yang benar, Allah swt akan benar-benar menjatuhkan hukuman yang teramat berat dan mengerikan.

            “… Kami jadikan mereka bahan pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.” (QS 34 : 19)

            Jaga diri dan perbuatan kita untuk tidak membuat murka Allah swt agar tak lagi mendapatkan azab sebagaimana yang telah disaksikan oleh leluhur Suku Baduy, warga Kanekes, Banten, Indonesia.


Tak Ada Jejak Hindu-Budha di Tanah Sunda

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Banyak peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri yang masih mengatakan bahwa Hindu dan Budha pernah mempengaruhi hidup orang Sunda. Bahkan, Prabu Siliwangi as pun disebutnya kalau tidak beragama Hindu, ya beragama Budha. Sesungguhnya, Prabu Siliwangi adalah nabi kepercayaan Allah swt untuk mengajarkan tauhid di Benua Sundaland. Agamanya disebut Sunda Wiwitan. Agama itu adalah Agama Islam pra-Muhammad saw.

            Saya sebagai orang Sunda sama sekali tidak pernah menemukan satu orang pun atau sekeluarga pun yang menyimpan kitab Hindu atau Budha sebagai kitab yang pernah dijadikan pegangan hidup. Demikian pula, orang Sunda tidak pernah berperilaku atau berkata-kata sebagaimana orang yang pernah dipengaruhi Hindu atau Budha. Kedua agama itu tidak ada jejak sama sekali di Tanah Sunda. Agama Sunda Wiwitan jauh sekali perbedaannya dibandingkan Agama Hindu atau Budha. Agama Sunda Wiwitan malahan lebih dekat pada ajaran Islam Muhammad saw dalam hampir semua hal.

            Agama Sunda Wiwitan langsung dengan mudah melebur ke dalam Agama Islam. Hal itu disebabkan Agama Sunda Wiwitan adalah Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Prabu Siliwangi as, kemudian disempurnakan oleh Islam yang dibawa Muhammad saw.

            Hal ini bisa dilihat dari dongeng-dongeng lisan masyarakat Sunda yang sangat akrab dengan masyarakat Arab. Para raja Sunda kerap datang ke tanah Arab dan menikah dengan puteri raja-raja di sana. Para Pangeran Sunda pun menikahi puteri-puteri Arab dan Mesir. Terkadang pula raja-raja dan pangeran Arab atau Mesir mendatangi tanah Sunda, lalu menikahi puteri-puteri kerajaan Sunda. Hasil pernikahan mereka melahirkan para wali dan syekh yang kemudian membangun kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.

            Tak pernah ada kisah yang sangat akrab dengan raja-raja atau keluarga istana India. Tak ada dongeng yang mengisahkan adanya pernikahan ataupun persekutuan antara kerajaan Sunda dengan kerajaan-kerajaan di India. Hal itu menunjukkan bahwa sama sekali tidak pernah ada pengaruh Hindu dan Budha di tanah Sunda. Kalau Hindu atau Budha memiliki pengaruh di tanah Sunda, harus ada kisah ataupun sejarah mengenai keakraban atau konflik antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan India.

            Bagaimana dengan pewayangan?

            Bukankah itu pengaruh dari India?

            Bukan!

            Kisah-kisah pewayangan bukanlah berasal dari India. Kisah pewayangan itu lahir di Indonesia dan merupakan kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Kisah ini tersebar di seluruh tanah kekuasaan Kerajaan Sunda. Dalam peta yang dibuat Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, Kerajaan Sunda itu meliputi wilayah yang teramat luas dan India saat itu berada dalam kekuasaan Kerajaan Sunda. India hanyalah sebuah kadipaten dari Kerajaan Sunda. Kisah pewayangan ini mengalir ke India dan menarik masyarakat India. Bukan hanya kisah pewayangan yang diadopsi, melainkan sistem penanggalan India pun mengikuti sistem penanggalan Sunda. Dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda II di Gedung Merdeka, Bandung, yang saya diundang menjadi pesertanya, sebagai wakil dari Yayasan Al Ghifari, dijelaskan bahwa kalender India sama persis dengan kalender Sunda karena India mengikuti sistem Sunda.

            Tak ada pengaruh Hindu dan Budha di tanah Sunda. Pengaruh sangat besar justru berasal dari Arab karena kesamaan keyakinan. Misalnya, dongeng Kian Santang dan Walangsungsang yang datang ke Mekah, lalu dibalas oleh kunjungan Nabi Muhammad saw ke Garut di daerah Kadungora dan Leuwigoong. Pesan dongeng itu jelas sekali bahwa ajaran Islam dari tanah Arab itu sangat direstui untuk menyempurnakan agama Sunda Wiwitan yang merupakan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Prabu Siliwangi as.

            Dongeng-dongeng lisan di tanah Sunda yang akrab dengan Arab memiliki campuran antara kenyataan, khayalan, dan uga (prediksi atau ramalan masa depan). Oleh sebab itu, cukup rumit memisahkan mana yang kenyataan sejarah, mana yang khayalan, dan mana yang merupakan prediksi masa depan.

            Kerajaan-kerajaan di Indonesia ini pada masa lalu merupakan kerajaan-kerajaan kuat dan besar, misalnya, Pajajaran, Majapahit, Singosari, Perlak, Samudera Pasai, dan lain sebagainya. Mereka dikenal sebagai para pelaut ulung yang mampu berlayar ke seluruh dunia sehingga terjalin bisnis yang kuat dan sangat menguntungkan dengan berbagai negara di dunia, termasuk dengan Eropa, Cina, dan Arab. Kehebatan orang Indonesia dalam mengarungi samudera ini diabadikan dalam lagu yang kita kenal dengan judul Nenek Moyangku Seorang Pelaut.

            Dalam petualangan dan pelayarannya ke berbagai negeri, tentunya mengalami berbagai interaksi dan komunikasi dengan wilayah-wilayah yang pernah dikunjunginya dalam berbisnis. Pengalaman para petualang dan tokoh Sunda ke daerah Arab ini memunculkan pula kisah yang sangat mungkin merupakan kenyataan sejarah. Kisah ini lagi-lagi memperlihatkan bagaimana akrabnya Sunda dengan Arab.

            Wahyu Wibisana dalam Pengislaman Prabu Siliwangi sebagai Pelengkap Kehadiran Tokoh Ceritera Siliwangi dalam Ceritera-Ceritera Rakyat Jawa Barat (1991) mengisyaratkan bahwa sudah terjadi hubungan yang sangat akrab antara orang Sunda dengan Arab jauh sebelum Nabi Muhammad saw lahir. Ia menuturkan bahwa ketika Nabi Muhammad saw baru berusia tujuh hari, menangis terus-menerus dan tidak mau berhenti meskipun telah dibujuk oleh siapa pun. Muhammad saw kecil baru berhenti menangis ketika orang Sunda yang bernama Syekh Batara Galunggung menghiburnya dengan cara memberikan kolecer kepada Nabi Muhammad saw. Kolecer itu kincir yang terbuat dari kertas yang jika ditiup akan berputar-putar lucu. Kolecer saat ini merupakan kerajinan tangan ringan yang diajarkan oleh guru-guru TK di Indonesia.

            Hal ini jika ditelusuri lebih teliti, sangat mungkin menjadi sejarah bernilai ilmiah mengingat kehebatan para pelaut Indonesia pada masa kejayaan berbagai kerajaannya mampu berdagang ke berbagai penjuru dunia. Ketika berada di negeri orang, tentu saja mereka berinteraksi dalam waktu yang cukup panjang hingga satu atau dua bulan menunggu urusan bisnis rampung. Ketika sampai di tanah Arab, mereka pun sampai ke Mekah dan mengenal keluarga Nabi Muhammad saw.

            Ketika Nabi Muhammad saw sudah dewasa, sejak sebelum menjadi nabi maupun sesudah menjadi nabi, beberapa kali datang ke Indonesia dengan tujuan yang sama, yaitu berdagang sejak menjadi pesuruh Siti Khadijah ra. Bahkan, ada naskah Sunda kuno yang mengisahkan bahwa rombongan dari tanah Arab datang ke tanah Sunda dipimpin oleh Abu Jahal untuk berbisnis. Di dalam rombongan itu, terdapat Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Ketika berada di tanah Sunda, rombongan itu keluar masuk hutan dan mengalami beberapa kali kesulitan karena tersesat dan kerap diganggu harimau. Oleh sebab itu, Abu Bakar mengusulkan agar Muhammad saw diberi kesempatan untuk memimpin rombongan. Setelah pemimpin rombongan diganti oleh Muhammad saw, perjalanan pun menjadi lancar dan harimau tak mau mengganggu lagi. Ketika Muhammad saw telah menjadi nabi pun, tetap datang ke tanah Sunda untuk mengajarkan agama dan mendirikan beberapa masjid.

            Lagi-lagi informasi dari naskah-naskah ini jika diteliti lagi lebih mendalam, dapat menjadi bernilai kenyataan sejarah. Hal itu disebabkan sangat mungkin terjadi interaksi yang akrab antara tanah Sunda dan tanah Arab sebelum dan sesudah Muhammad saw menjadi nabi. Hal ini bisa dilihat dari hadits-hadits yang mengharuskan penggunaan kapur barus untuk pengurusan jenazah. Kapur barus itu didapatkan dari Pulau Jawa, Indonesia karena di Mekah, Medinah, maupun Jeddah tidak memiliki wilayah yang bisa menghasilkan kapur barus. Di samping itu, di dalam Al Quran pun banyak ayat yang menerangkan tentang keadaan laut, pelayaran, para pelaut, dan hutan dengan segala keistimewaannya. Hal itu mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah berulang kali melakukan pelayaran dan keluar masuk hutan. Sangat mungkin pelayaran itu ke tanah Sunda dan hutannya pun hutan yang berada di wilayah Sunda.

            Memangnya di Mekah sebelah mana yang ada hutannya?

            Di Medinah atau Jeddah yang mana yang wilayahnya ada hutan?

            Dengan melihat dan mendengar berbagai kisah yang akrab antara tanah Arab dan tanah Sunda, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Agama Sunda Wiwitan sangat terbuka untuk disempurnakan oleh Agama Islam. Dengan tidak adanya keakraban antara tanah Sunda dengan tanah India, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Agama Hindu dan Agama Budha tidak pernah memberikan pengaruh apa pun bagi masyarakat Sunda.

            Sampurasun.

Thursday, February 9, 2017

Asal Mula Suku Baduy

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Masyarakat Baduy sebenarnya sangat tidak suka disebut “Baduy” karena kata Baduy berasal dari istilah orang-orang Belanda kolonial kepada mereka. Belanda menyebut mereka baduy karena menyamakan mereka dengan orang Arab “Badwi” yang tinggal di tenda-tenda dan hidup secara nomaden, berpindah-pindah tanpa tempat tinggal yang tetap. Sebutan itu sangat salah karena orang Baduy tidak tinggal di tenda-tenda dan tidak nomaden. Orang Baduy memiliki tempat tinggal yang tetap dan tanah yang juga tetap. Orang-orang ini sebenarnya lebih senang disebut sebagai orang “Kanekes” karena memang mereka adalah warga Kanekes.

           Dari zaman ke zaman sudah ratusan peneliti yang mencoba mencari tahu dari mana orang-orang Kanekes ini berasal dan bagaimana terbentuknya cara-cara hidup mereka yang sangat kuat memegang adat leluhur. Setiap ada peneliti yang mendapatkan kesimpulan tentang asal mula Baduy, orang-orang Kanekes ini selalu kesal, jengkel, dan marah karena menganggap bahwa hasil penelitian para peneliti itu salah dan selalu salah.

            Salah seorang dari mereka berkata keras, “Kami ti baheula ge geus aya di dieu. Ti jaman Nabi Adam ge kami mah geus di dieu!”

            Artinya, “Kami dari dulu juga sudah ada di sini. Sejak zaman Nabi Adam juga kami sudah berada di sini!”

            Hasil para peneliti itu, baik dari dalam maupun dari luar negeri selalu dibantah karena terkesan menyudutkan mereka, seperti menyebut mereka adalah berasal dari orang-orang Sunda yang kalah perang, lalu lari dan sembunyi di tempatnya sekarang dari kejaran musuhnya yang telah menghancurkan Kerajaan Sunda.

            Saya sendiri lebih percaya kepada kata-kata orang Baduy sendiri bahwa mereka sejak dulu juga sudah berada di tempat itu. Mereka memiliki nenek moyang sendiri yang diciptakan Allah swt sebagai Suku Sunda. Orang Sunda memiliki pasangan suami istri khusus yang melahirkan Suku Sunda. Di wilayah mereka ada lokasi yang ditandai batu yang merupakan tempat sepasang suami istri itu diciptakan Allah swt.

            Hal ini bisa dilihat dari QS Al Hujurat 49 : 13.

            “Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti.”

            Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa memang Allah swt menciptakan manusia itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan karakteristik masing-masing serta kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional juga yang masing-masing. Manusia diciptakan berbeda secara fisik, mental, intelektual, emosional, dan spiritual. Hal  itu dimaksudkan Allah swt untuk saling mengenal sehingga dapat saling belajar, saling mengisi, dan saling membantu dalam menyempurnakan hidup dan kehidupan yang diciptakan Allah swt.

            Orang Jawa, Minang, Batak, Papua, dan seluruh suku bangsa di dunia ini memiliki leluhur masing-masing, memiliki sepasang suami istri masing-masing yang merupakan awal dari suku bangsa itu. Di wilayah setiap suku ada tempat yang merupakan lokasi bagi Allah swt dalam menciptakan pasangan awal suami istri yang melahirkan suku bangsa mereka. Dari pasangan awal itulah lahir suku bangsanya yang khas dengan segala karakteristiknya sesuai dengan kehendak Allah swt.


Bagaimana dengan Adam as?
Perdebatan dan diskusi mengenai Nabi Adam as adalah manusia pertama atau bukan, sudah terlalu sering dan berlarut-larut sampai hari ini. Saya sendiri sering terlibat diskusi dan perdebatan itu hingga berminggu-minggu. Hasilnya, selalu saja mereka yang berpendapat bahwa Adam as adalah manusia pertama tidak pernah bisa menjawab berbagai pertanyaan yang “menjungkirkan” keyakinan bahwa Adam as adalah manusia pertama.

            Saya sendiri berpendapat bahwa Nabi Adam as adalah BUKAN MANUSIA PERTAMA. Akan tetapi, Nabi Adam as adalah nabi pertama, manusia beradab pertama, dan manusia yang diberi wahyu pertama oleh Allah swt sehingga diangkat menjadi khalifah di muka Bumi.

            Nabi Adam as adalah laki-laki pertama dan Siti Hawa adalah perempuan pertama yang kemudian melahirkan suku bangsanya sendiri dengan karakteristiknya sendiri pula. Nabi Adam as bukan manusia pertama, melainkan nabi pertama dan manusia beradab pertama karena diberi wahyu yang berupa tuntunan dari Allah swt untuk mencapai kehidupan yang sempurna.

            Apalagi jika kita baca Ensiklopedia Islam yang menuliskan bahwa ada salah seorang anak dari Nabi Adam as yang bermasalah dengan sebuah kerajaan, bahkan sampai ditangkap oleh rajanya.

            Raja yang menangkap anak Nabi Adam as itu turunan dari mana kalau memang Adam as adalah manusia pertama?

            Adam as bukanlah manusia pertama.

            Kalau masih ngotot meyakini bahwa Adam as adalah manusia pertama, coba jawab pertanyaan saya ini.

            Ada berapa ratus bahasa yang ada di dunia ini?

            Nabi Adam as menggunakan bahasa apa ketika berkomunikasi?

            Mengapa manusia tiba-tiba memiliki bahasa masing-masing?

            Mengapa tidak menggunakan bahasa Nabi Adam as? Bukankah seluruh manusia adalah keturunan Adam as?

            Ada masalah apa antara Adam as dengan keturunannya sehingga saking bencinya sampai-sampai harus meninggalkan bahasa Adam as?

            Malah, bukan hanya bahasa yang berbeda, hurufnya pun berbeda. Ada huruf Sunda, Jawa, Arab, Jepang, Cina, Yunani, dan lain sebagainya.

            Siapa orangnya yang pertama kali membenci Adam as sehingga tidak sudi lagi menggunakan bahasa Adam as?

            Hayo jawab.

            Saya sangat berterima kasih jika ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

            Kalau tidak ada yang bisa menjawab, berarti memang Adam as bukanlah manusia pertama. Allah swt menciptakan kita berasal dari sepasang suami istri tertentu yang melahirkan sebuah suku bangsa tertentu dengan karakteristik masing-masing. Begitulah yang saya pahami dari QS Al Hujurat 49 : 13.

            Allah swt menciptakan kita berbeda sesuai dengan karakteristik alam yang berbeda sehingga kita bisa saling mengenal, saling memberi, saling mengisi, dan saling membantu di antara sesama manusia. Bukan sebaliknya, saling ingin menguasai, saling ingin merampok, saling ingin menjatuhkan, saling ingin berada paling tinggi di atas yang lainnya, atau saling ingin berjaya dengan merendahkan manusia yang lainnya.

            Begitulah maksud Allah swt menciptakan kita berbeda-beda. Kita diciptakan berbeda, tetapi dengan maksud yang sama.

            Jadi, asal mula orang Baduy adalah berasal dari sepasang suami istri yang kemudian menjadi awal terbentuknya Suku Sunda dengan karakteristiknya yang khas, dengan mental tertentu, kecerdasan tertentu, kemampuan spiritual tertentu, serta tingkat emosi yang khusus pula. Lokasi penciptaan pasangan suami isteri pertama itu adalah di tempat yang ditunjukkan oleh orang Baduy sendiri. Bukan hanya Suku Sunda yang diciptakan seperti itu, melainkan semua suku di dunia ini pun diciptakan dengan cara seperti itu.


            Sampurasun