Wednesday, March 29, 2017

Sistem Pemerintahan Prabu Siliwangi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Prabu Siliwangi dikenal menjalankan pemerintahan dengan adil dan bijaksana sehingga mengantarkan negaranya mencapai kegemilangan, keemasan, dan kemakmuran tiada tara yang diimpi-impikan banyak orang untuk terulang kembali. Kemegahan dan kejayaan negara dan rakyatnya benar-benar terwujud sepanjang Nabi Prabu Siliwangi hidup dan terus berlangsung beberapa periode berikutnya sepanjang dipimpin oleh orang-orang yang memegang teguh ajaran Prabu Siliwangi. Akan tetapi, kemudian terjadi penurunan karena mulai tidak mematuhi lagi ajaran Prabu Siliwangi hingga berakhir penuh kedurhakaan yang menimbulkan kemurkaan Allah swt. Kemurkaan Allah swt mengakibatkan Benua Sundaland hancur berkeping-keping menjadi kepulauan seperti sekarang ini. Akibatnya, seluruh kejayaan masa lalu hancur dan terkubur di dalam tanah. Hanya ajaran Prabu Siliwangi yang sebagian masih dikenang orang-orang baik dengan nama Sunda Wiwitan yang tersisa agar kita dapat menelusuri keberadaan kejayaan Prabu SIliwangi as.

            Sistem pemerintahan Prabu Siliwangi dapat dijelaskan dengan menggunakan Teori Kedaulatan Tuhan. Teori Kedaulatan Tuhan merupakan teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah. Teori ini mengajarkan bahwa negara dan pemerintah mendapat kekuasaan tertinggi dari Tuhan sebagai asal segala sesuatu (causa prima). Menurut Teori Kedaulatan Tuhan, kekuasaan yang berasal dari Tuhan itu diberikan kepada tokoh-tokoh negara terpilih yang secara kodrati diterapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan selaku wakil Tuhan di dunia.

            Hal tersebut dapat dilihat dari pokok-pokok dasar ajaran keagamaan yang diuraikan dalam Sang Hiang Siksa Kanda ng Karesian (TBG.L.IV: 438) yang terangkum lengkap dalam sepuluh dasar/sila kebaktian (dasa pabekti) yang dikutip dalam makalah Antara Senjata Kudyang dengan Senjata-Senjata Tajam Berpamor Lainnya susunan Haris Sukanda Natasasmita (1991).

            Dasa pabekti itu adalah:
1. Anak bakti di bapa
2. Ewe bakti di laki
3. Hulun bakti di pantjadaan
4. Sisa bakti di guru
5. Orang tani bakti di dewata
6. Wadon bakti di mantri
7. Mantri bakti di mangkubumi
8. Mangkubumi bakti di ratu
9. Ratu bakti di dewata
10. Dewata bakti di Hiyang

            Kesepuluh dasar kebaktian ajaran keagamaan itu menunjukkan bahwa agama Sunda Wiwitan menjadi jiwa sekaligus dasar dalam berbangsa dan bernegara. Untuk berbakti kepada Tuhan, setiap orang haruslah berbakti kepada orang yang berada di atas dirinya karena orang yang berada di atasnya akan berbakti kepada orang yang lebih tinggi hingga berujung berbakti pada pemimpin negara yang berbakti kepada Tuhan.

            Apabila kita pahami sesuai dengan kondisi hierarki eksekutif di Indonesia saat ini dasar-dasar kebaktian keagamaan itu adalah anak berbakti pada orangtua, istri berbakti pada suami, suami berbakti pada RT, RT berbakti pada RW, RW berbakti pada lurah/Kades, Kades/lurah berbakti pada camat, camat berbakti pada walikota/bupati, walikota/bupati berbakti pada gubernur, gubernur berbakti pada menteri, menteri berbakti pada presiden, presiden berbakti pada malaikat (Jibril), Jibril berbakti pada Allah swt. Dengan demikian, kebaktian anak kepada orangtua sama bernilai sama dengan berbakti kepada Allah swt karena orangtuanya berbakti kepada orang yang di atasnya yang berujung pada berbakti pada presiden yang berbakti pada Jibril yang berbakti pula kepada Allah swt. Demikian pula bakti seorang bupati kepada gubernur bernilai sama dengan berbakti pada Allah swt karena gubernur berbakti pada menteri yang berbakti pada presiden yang berbakti pada Jibril yang pasti berbakti pada Allah swt.

            Meskipun demikian, ada profesi yang diistimewakan dalam ajaran ini, yaitu petani. Para petani itu disamakan dengan ratu/presiden/raja karena tidak perlu berbakti kepada orang yang di atasnya, melainkan langsung berbakti pada Jibril yang berbakti pada Allah swt. Hal itu sebagaimana yang disebut dalam dasa pabekti poin lima, yaitu orang tani bakti di dewata. Petani adalah orang dan profesi yang dimuliakan negara, tidak seperti sekarang ini, kadang-kadang petani adalah orang dan profesi yang dikorbankan oleh para tengkulak dan para mafia beras. Benar-benar durhaka orang-orang saat ini. Pantas saja jika hidup ditemani rupa-rupa bencana alam.

            Kesepuluh dasar pengabdian itu benar-benar bisa dilaksanakan dengan baik dan sempurna dalam memakmurkan bangsa dan negara apabila memang pemimpin tertingginya adalah benar-benar orang pilihan Tuhan secara langsung. Dia harus seorang nabi yang langsung mendapatkan bimbingan dari Allah swt dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya sebagai bukti kenabian dirinya. Artinya, Teori Kedaulatan Tuhan akan berjalan sangat efektif apabila pemimpinnya adalah nabi.

            Para nabi ini telah bekerja dan berperan dalam kehidupan dunia dengan sangat baik di timur, barat, utara, dan selatan. Karya-karya kenegarawanan mereka menjadi catatan tersendiri dalam sejarah manusia. Kepemimpinan model para nabi dalam teori ini masih akan berjalan efektif sepanjang diteruskan oleh generasi berikutnya dengan kepatuhan yang tinggi pada ajaran para nabi itu. Ketika kepatuhan itu berkurang, berkurang pulalah kejayaan dan kemakmuran negeri itu. Kenyataannya pun memang demikian, tak pernah ada ajaran para nabi yang dipatuhi sekuat ketika para nabi itu hidup. Seluruhnya berkurang dan semakin rusak. Bahkan, para penguasa berikutnya kerap bertingkah dan mengklaim diri lebih dipercaya Tuhan sehingga mengakibatkan pemerintahan yang bersifat arogan dan tiran. Ketika sudah sangat rusak, orang-orang mencari jalan untuk memperbaiki kerusakan itu dengan rupa-rupa teori dan macam-macam pendapat yang tak pernah mencapai kata sepakat karena jauh dari ajaran para nabi itu. Satu-satunya jalan adalah menunggu Allah swt mengirimkan orang kuat-Nya untuk menegakkan ajaran para nabi dalam menyelamatkan kehidupan seluruh manusia dan alam semesta sambil tetap berbuat baik setiap hari agar tidak ditimpa bencana, baik bencana pribadi, bencana sosial, maupun bencana alam.


Islam Menyempurnakan Sunda Wiwitan
Dasa pabekti atau sepuluh dasar pengabdian itu disempurnakan oleh Islam yang dibawa Muhammad saw. Kalau dalam dasar pengabdian yang dibawa Prabu Siliwangi bersifat “mutlak” dalam arti setiap orang harus berbakti kepada orang yang berada di atasnya secara “mutlak” agar  bernilai sama dengan mengabdi kepada Allah swt, Muhammad saw menyempurnakan dasar pengabdian itu menjadi “tidak mutlak”. Kepatuhan dan kebaktian kepada orang yang berada di atasnya tetap ada dan dipertahankan, tetapi menjadi “tidak mutlak”. Hal itu disebabkan Allah swt tidak akan lagi menurunkan para nabi. Artinya, ajaran Allah swt sudah selesai sempurna. Semua orang diperintahkan untuk patuh dan setia pada orang yang di atasnya sepanjang orang yang di atasnya itu patuh kepada Allah swt. Semua orang bisa langsung patuh secara pribadi kepada Allah swt tanpa harus melalui pengabdian kepada orang lain terlebih dahulu. Bahkan, setiap orang boleh tidak patuh, boleh membantah, dan “wajib tidak setia” jika orang yang berada di atasnya tidak patuh kepada Allah swt dalam arti menyimpang dari ajaran Allah swt. Untuk hal ini, Allah swt menurunkan QS Al Ashr, yaitu surat yang mewajibkan setiap orang beriman untuk saling mengkritik, saling menasihati, saling mengingatkan agar hidup dan kehidupan menjadi kuat, sabar, utuh, dan mencapai kebaikan di dunia dan akhirat.

            Islam menyempurnakan seluruh ajaran para nabi dengan adanya Al Quran, hadits, dan orang-orang berilmu yang hatinya selalu terikat kepada Allah swt untuk menjadi rujukan segala dinamika kehidupan ini. Setiap orang boleh langsung mengabdi kepada Allah swt dan setiap orang wajib saling mengingatkan siapa pun, baik yang berada di atasnya, di bawahnya, maupun satu level agar selalu berada dalam jalan Allah swt. Kepatuhan dan kebaktian kepada orang yang berkuasa bersifat mutlak jika para penguasa itu patuh kepada Allah swt. Sebaliknya, kepatuhan dan kebaktian itu menjadi “tidak mutlak”, bahkan wajib “dihilangkan” jika para penguasa atau pemimpin tidak mematuhi Allah swt.


            Sampurasun

Sifat Allah swt dan Sifat Sunda Ada dalam Kujang

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Seluruh suku bangsa di dunia ini rata-rata memiliki senjata khas untuk mempertahankan diri sekaligus show of force kepada musuh atau pihak-pihak yang dicurigai akan melakukan penyerangan terhadap sukunya. Di samping senjata untuk membunuh musuh, juga rata-rata setiap suku bangsa di dunia ini memiliki tameng atau perisai sebagai alat untuk menahan laju serangan musuh dan mengusir musuh dari wilayahnya.

            Ada ribuan jenis senjata dan perisai yang berbeda pada setiap suku bangsa di dunia ini. Di Indonesia saja kita sudah mengenal banyak senjata peninggalan hampir seluruh leluhur setiap suku. Ada keris, golok sakti, gada, tameng, badik, cemeti, cakra, denda musala, bajra limprung gada, duduk, ale, konta boji, bindi, tamsir, pedang, trisula, suduk, pasopati, bramastra, marcu jiwa, tombak, panah, dan lain sebagainya.

            Akan tetapi, anehnya, Suku Sunda tidak memiliki senjata khas untuk bertempur dan tidak memiliki tameng untuk menahan laju serangan musuh atau mengusir musuh. Satu-satunya suku bangsa yang tidak memiliki perisai untuk berperang yang saya ketahui hanyalah Suku Sunda. Kasih tahu saya kalau ada tameng atau perisai Sunda. Saya sangat senang mengetahuinya dan ingin melihat bentuknya seperti apa.

            Saya bisa memastikan bahwa 99% tidak ada satu orang pun yang dapat menunjukkan perisai Suku Sunda yang digunakan untuk bertempur karena memang tidak ada.

            Demikian pula senjata khas Sunda untuk membunuh musuh sama sekali tidak ada.

            Adakah?

            Apa?

            Kujang?

            Hmmh … mari kita lihat sejarahnya untuk apa itu kujang sesungguhnya.

            Di Suku Sunda memang ada benda-benda tajam, seperti, bedog (golok), arit, gergaji, etem (pemotong kangkung), kudi, dan lain sebagainya. Akan tetapi, itu semua hanyalah alat untuk bekerja dalam pertanian, peternakan, dan pertukangan. Alat-alat itu semuanya bukanlah senjata untuk bertempur, melainkan untuk bekerja sehari-hari.

            Tak ada senjata khusus milik Suku Sunda. Aneh memang. Akan tetapi, ini memang kenyataan. Tampaknya, Nabi Prabu Siliwangi as dulu memang mengajarkan kelembutan dan budi pekerti yang baik. Allah swt sendiri menciptakan Suku Sunda seperti itu. Tidak gemar bermusuhan. Tidak bersifat mengancam orang lain. Terbuka kepada siapa saja. Ramah. Hal itu ada dalam pepatah terkenal Sunda, yaitu someah hade ka semah, ‘menghormati dan memuliakan tamu/orang asing’.

            Kalau ada orang Sunda yang gemar bermusuhan dan kerap menunjukkan sikap mengancam orang lain, dapat dipastikan dirinya sudah terkena pengaruh orang-orang luar Sunda dan hidup dengan cara-cara orang lain. Dirinya sudah “memaksakan” diri untuk tidak bersikap sebagaimana orang Sunda.

            Orang Sunda itu mesti halus dan berbudi pekerti yang baik. Tidak boleh angkuh dan merendahkan orang lain. Buktinya, orang Sunda tidak punya senjata perang dan tidak punya perisai perang seperti suku-suku lain.

            Kujang?

            Kujang itu sebenarnya bukan senjata.

            Haris Sukanda Natasasmita dalam tulisannya yang berjudul Antara Senjata Kudyang dengan Senjata-Senjata Tajam Berpamor Lainnya (1991) menerangkan tentang kujang dengan cukup baik. Menurutnya, kujang itu dulunya adalah kudi. Kudi sendiri merupakan pisau melengkung atau golok kecil pendek yang tajam pada bagian luar yang melengkung. Berbeda dengan arit yang tajam pada bagian dalamnya. Kudi tampaknya biasanya digunakan untuk menghaluskan kayu dengan cara menyerut, kerap pula digunakan untuk memotong ranting-ranting pohon. Tak jarang pula digunakan untuk mengupas kulit buah-buahan yang akan dimakan.

            Meskipun pendek, kudi tajam sekali. Saking tajamnya, digunakan pula dalam pepatah Sunda, seperti ulah sok nyisikudi, ‘jangan suka meraba-raba kudi’. Jika meraba-raba kudi tanpa pandangan yang benar, tangan kita bisa terluka parah dan lama sembuh. Maksud dari pepatah itu adalah jangan suka cari-cari masalah yang tidak perlu. Hal itu disebabkan masalah itu bisa melukai kita dan sulit untuk diselesaikan.

            Kudi itu alat tajam yang ringan dibawa-bawa dan serba guna sehingga dimilliki pula oleh para bangsawan untuk memotong makanan atau memotong hal-hal yang ringan. Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan bentuk pada kudi. Semakin banyak dan semakin nyaman bangsawan menggunakan kudi, bentuknya pun disesuaikan dengan kedudukan para bangsawan itu. Dengan demikian, kudi pun menjadi semakin indah dan semakin terhormat. Bentuknya tetap kudi, tetapi mendapatkan tambahan lekukan-lekukan indah, lubang-lubang tertata rapi, dan ujungnya ada yang bertambah menjadi dua, satu pendek dan satu lagi lebih panjang. Kudi yang berujung dua biasa disebut dua pangadekna, ‘dua mata tajamnya’.

            Makin lama, kudi makin populer dan terhormat karena bentuknya yang semakin indah bagai perhiasan utama di kalangan orang-orang mulia, termasuk di kalangan rohaniwan dan agamawan. Saking mulianya, kudi ini dilekatkan dengan Tuhan yang dalam bahasa Sunda disebut Hyang. Kudi yang kemudian ditambah kata Hyang menjadi kudi Hyang, kudihyang, kudhyang, kudyang, akhirnya kujang.

            Setelah menjadi kujang, orang yang tidak mengenal benda ini tidak mengerti alat apa itu karena bentuknya sangat indah, apalagi jika menggunakan alas dan kotak kaca di dalam rumah. Benda itu mirip perhiasan dan jauh dari kesan senjata yang mengancam jiwa manusia.

            Kujang sekarang adalah perhiasan dan tidak pernah ada catatan siapa orangnya yang pernah mati terbunuh oleh kujang. Berbeda dengan keris yang sudah banyak memakan korban jiwa. Kujang lebih dikenal karena keindahannya sebagai perhiasan. Kujang itu tetap akan menjadi perhiasan dan tetap indah jika orang menikmati keindahan itu dan tidak melakukan kerusakan pada keindahan itu. Tak ada ancaman dari kujang, kecuali keindahan.

            Akan tetapi, jika ada perilaku buruk yang merusakkan keindahan kujang dan pemiliknya, kujang itu akan berubah menjadi senjata yang mematikan dan menimbulkan kehancuran luar biasa sadisnya melebihi keris, pedang, ataupun tombak. Bayangkan saja jika kujang itu ditusukkan ke perut seseorang, apalagi yang ujung tajamnya ada dua (kujang dua pangadekna), seluruh logam kujang itu akan masuk ke dalam perut korban. Ujung tajam, bagian lekuk yang tajam, lekuk-lekuk hiasan, dan lubang-lubang yang tertata rapi itu pun masuk seluruhnya ke dalam perut korban. Itu belumlah bencana yang besar menyakitkan bagi orang yang ditusuk. Rasa sakit dan bencana yang sangat besar itu justru terjadi ketika kujang itu ditarik keluar dari perut orang itu. Semua lekuk, hiasan, ketajaman, lubang-lubang pada kujang akan mengait pada isi perut orang itu dan membuat isi perutnya berhamburan keluar ketika ditarik. Benar-benar mengerikan dan menyakitkan.

            Ketika situasi benar-benar buruk, meskipun tidak memiliki senjata khas, semua alat pertanian Sunda berubah menjadi alat pembunuh yang teramat efektif dan sangat menghancurkan. Golok, etem, arit, dan gergaji akan bersamaan dengan kujang melakukan pembumihangusan terhadap para pengganggu.

            Begitulah Allah swt memiliki sifat. Allah swt itu selalu ingin dikenal dirinya sebagai zat yang penuh kasih sayang dan penuh cinta. Kalimat yang paling harus diucapkan setiap muslim adalah basmallah. Itu artinya Allah swt ingin dikenal sebagai zat penuh kemuliaan, keindahan, kebahagiaan, dan sama sekali tidak ingin melakukan penghukuman kepada setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Kalaupun ada dari makhluk-Nya yang melakukan kesalahan, Allah swt selalu memberikan pengampunan jika makhluk-Nya datang meminta pengampunan-Nya. Sepanjang orang-orang memandang keindahan dan kemegahan Allah swt, orang-orang pun akan merasakan indah dan bahagia. Akan tetapi, jika orang-orang sudah tidak mengindahkan keindahan Allah swt, kasih sayang Allah swt, dan kemegahan Allah swt, Allah swt akan berubah menjadi sangat berbahaya, Maha Berbahaya, Maha Mengerikan, Maha Penuh Kemurkaan, dan Maha Penghancur.

            Sifat Allah swt seperti itu digambarkan dalam kujang oleh para panday Sunda.

            Sifat orang Sunda pun seharusnya seperti itu. Orang Sunda harus memaujudkan sifat Allah swt dalam dirinya yang penuh kasih sayang, ramah, sopan, tetapi memiliki potensi menghancurkan siapa pun yang mewujudkan niat buruknya di muka Bumi. Di balik kasih sayang, cinta, dan keindahan, ada kekerasan yang bisa menghancurkan apa pun. Akan tetapi, kekerasan itu harus kembali ditutupi dan menghilang, kemudian menjadi keindahan dan kasih sayang apabila kejahatan sudah tak tampak lagi.

            Kujang itu adalah perhiasan yang asalnya alat potong tajam pendek bernama kudi. Kujang akan berubah menjadi senjata mengerikan jika terjadi gangguan terhadap pemiliknya dan sekitarnya.

            Sampurasun

Tuesday, March 28, 2017

Prabu Siliwangi di Mata Anak Muda

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Sosok Nabi Prabu Siliwangi as memang unik. Ia sangat terkenal, terutama di masyarakat Sunda. Anak muda Sunda dapat dikatakan seluruhnya mengenal Prabu Siliwangi. Rata-rata anak muda Sunda menganggap Prabu Siliwangi adalah bagian dari dirinya atau dirinya yang merupakan bagian dari diri Prabu Siliwangi. Apabila ada anak muda Sunda yang belum mengenal sosok Prabu Siliwangi, hanya dengan mendengar satu atau dua dongeng Prabu Siliwangi, dengan cepat dirinya segera terintegrasi dengan sosok Prabu Sililwangi.

            Meskipun dalam sosok Prabu Siliwangi masih banyak hal yang misterius, anak-anak muda Sunda tetap menghormatinya sebagai leluhur, panduan bersikap, serta teladan dalam menjalankan pemerintahan. Sambil terus mencari informasi yang benar dan lengkap mengenai Prabu Siliwangi, anak-anak muda Sunda tak pernah melepaskan nama Prabu Siliwangi dari jiwanya.

            Pada masyarakat Sunda sosok Prabu Siliwangi berada dalam dua dimensi, yaitu dimensi sejarah dan dimensi sastra. Dalam dua dimensi itu Prabu Siliwangi tidak pernah menjadi tokoh yang buruk atau lemah. Prabu Siliwangi selalu berada di atas angin, selalu positif, serta selalu menang dan selalu menjadi rujukan dalam memecahkan masalah.

            Karna Yudibrata melakukan penelitian tentang hal ini dengan menggunakan metode campuran kualitatif dan kuantitatif. Hal itu dapat dilihat dari bentuk pertanyaan-pertanyaan yang digunakannya kepada anak-anak muda, yaitu sebagian bersifat tertutup, sebagian lagi bersifat terbuka. Hasilnya disusun menjadi makalah berjudul Pandangan Masyarakat Umum tentang Silihwangi Khususnya dalam Perspektif Kaum Muda (Cermin yang Agung dan Samar) (1991). Berikut hasil penelitiannya.


Prabu Siliwangi sebagai Tokoh Sejarah
Sebagai tokoh sejarah, anak-anak muda mengenal Prabu Siliwangi dari namanya yang besar dan mashyur. Nama Siliwangi merupakan salah satu ukuran keberhasilan Padjadjaran yang melambangkan kejayaan dan nilai terbaik tatar Sunda pada masa yang lampau.

            Adapun sifat-sifat perilaku personal Siliwangi menurut persepsi kaum muda adalah bersih dan keras hati, jujur dan berbudi luhur, berperasaan halus, tabah dan pantang mundur, perwira dan ksatria, adil, arif dan bijaksana, berwibawa, berhati mulia dan rendah hati.

            Sifat-sifat perilaku sosialnya adalah kasih sayang (heman) kepada sesama manusia, tidak berkuasa secara semena-mena, menghormati hak orang lain, pelindung dan pengayom yang lemah, berdedikasi tinggi dan rela berkorban untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, serta cinta tanah air.

            Sifat-sifat perilaku kultural Siliwangi menurut persepsi kaum muda adalah pembawa kejayaan dan kebesaran serta ketinggian martabat hidup dan kehidupan di Padjadjaran, pembawa gagasan/ide baru dalam bidang pemerintahan, pertahanan, keamanan, pertanian, ilmu perang, kerajinan, sistem kepercayaan dan upacara religius, santun bahasa dan kesenian, serta penggalang persatuan raja-raja atau bupati-bupati setatar Sunda.


Prabu Siliwangi sebagai Tokoh Sastra (folklore)
Tokoh Prabu Siliwangi lebih dikenal melalui kisah-kisah rakyat dan dongeng-dongeng kepahlawanan dibandingkan melalui sejarah. Catatan dongeng-dongeng Prabu Siliwangi jumlahnya jauh berlipat-lipat dibandingkan catatan sejarah. Hal itu mudah dipahami karena rakyat lebih menyukai dongeng-dongeng heroik penuh kesaktian dan penaklukan terhadap pihak-pihak jahat dibandingkan memahami sejarah yang benar-benar hidup dan ada secara nyata.

            Sebagai tokoh sastra, perilaku personal Prabu Siliwangi adalah putera raja di Bumi yang tampan tiada tara,  sakti (dapat menghilang, tilem, ngahiang), luar biasa, petualang ulung, pertapa, anggun dan agung.

            Perilaku sosial sebagai seorang raja diraja adalah suami yang gagah perkasa penakluk puluhan puteri cantik, kebal, penakluk/pemenang dalam berbagai sayembara, toleran terhadap pemeluk agama lain/baru, pahlawan yang memindahkan ibukota kerajaan, pembuka hubungan internasional melalui Pelabuhan Sunda Kelapa.

            Perilaku kultural Prabu Siliwangi sebagai seorang maharaja yang legendaris adalah penyebab lahirnya berbagai sasakala (asal mula sesuatu) dan seuweu siwi (putera puteri, anak cucu) Padjadjaran, lambang kebesaran dan keharuman negara yang menyebabkan lahirnya kehidupan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, sepi paling towong rampog, penggalang kekuatan sosial sekaligus pengayom yang binekas, penabur nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan pencetus berbagai ide vital.


Citra Siliwangi
Citra yang ada dalam diri Prabu Siliwangi menurut seluruh responden sebagai sasaran survey, nilai kata Siliwangi selalu baik, tidak pernah berkonotasi jelek. Siliwangi adalah pemersatu kerajaan-kerajaan di wilayah tatar Sunda. Siliwangi berperan sebagai pembangkit semangat pengabdian yang tanpa pamrih, penggugah semangat kepahlawanan (patriotisme) yang menyala-nyala, sumber ilham dan inspirasi bagi berbagai kegiatan kreatif, peletak dasar-dasar ketahanan negara, pemberi kenangan manis pada seuweu siwi Padjadjaran terhadap suatu masa keemasan yang gilang gemilang, serta pemberi corak khas dan identitas tersendiri pada rakyat Jawa Barat masa lalu dan masa kini.

            Secara umum masyarakat memahami bahwa Prabu Siliwangi pernah lahir, berada, jumeneng raja di Bumi Pertiwi Tatar Sunda. Prabu Siliwangi adalah raja yang agung.


Prabu Siliwangi sebagai Nabi
Di dalam penelusuran yang saya lakukan sendiri yang kemudian saya sandingkan dengan Al Quran, ternyata Prabu Siliwangi adalah nabi yang dipercaya Allah swt untuk mengajarkan Islam pra-Muhammad saw. Dia adalah salah satu nabi dari ribuan nabi kepercayaan Allah swt yang tidak dicatat dalam Al Quran, namun ajarannya tetap ada yang bermuara pada keesaan Allah swt. Nama ajarannya dikenal dengan Sunda Wiwitan. Konsep-konsep yang ada di dalamnya merupakan landasan ajaran Islam yang dibawa Muhammad saw. Ajaran-ajaran budi pekerti dan tingkah laku yang  ada di dalamnya merupakan fondasi bagi pengajaran akhlaqul karimah yang dicontohkan oleh Muhammad saw. Untuk lebih jelasnya, baca tulisan saya yang lalu berjudul Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam.


Teladan bagi Kepemimpinan Dunia
Berdasarkan penelitian Karna Yudibrata (1991) yang saya kutip sebagian tadi sebagai hasil dari survey di kalangan anak muda, Prabu Siliwangi adalah sosok pemimpin pemerintahan yang sangat paripurna. Dia seharusnya dijadikan model seluruh pemimpin di dunia ini dalam menjalankan pemerintahan, dalam melakukan interaksi internasional, dalam menata kehidupan keluarga, dan dalam mengabdikan diri kepada Allah swt. Perilaku pribadi, sosial, dan kultur Prabu Siliwangi jika dapat dimanifestasikan dalam setiap diri manusia, terutama pemimpin pemerintahan di mana saja akan menghasilkan kehidupan yang bahagia lahir dan batin serta menciptakan perdamaian yang seimbang dan harmonis karena tujuan hidupnya hanya satu, yaitu bahagia.

            Siapa pun yang ingin dikunjungi Prabu Siliwangi, contohlah cara hidupnya. Banyaklah bersalawat kepada Nabi Muhammad saw. Mereka berdua sama-sama Nabi Allah swt.

            Sampurasun

Wednesday, March 22, 2017

Belanda Merusakkan Silsilah Prabu Siliwangi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Penjajahan Belanda memang sangat mengerikan di Indonesia ini. Bukan hanya sumber daya alam yang mereka ambil, bukan hanya ekonomi yang mereka rusakkan, melainkan hampir segalanya. Mereka merusakkan pendidikan, tradisi, budaya, termasuk silsilah keluarga para bangsawan di Indonesia. Salah satu silsilah yang dirusaknya adalah silsilah Prabu Siliwangi. Bukan hanya Belanda yang merusakkan hal itu, melainkan pula para penguasa pribumi Indonesia sendiri berperan serta dalam perusakan itu.

            Saleh Danasasmita (1991) dalam makalahnya yang berjudul Silihwangi sebagai Pangkal Silsilah Kebangsaan (Tradisi Naskah Abad XVIII dan XIX) menuliskan bahwa sejak tentara Belanda, Kapitan Adolf Winkler melakukan ekspedisi untuk mengunjungi reruntuhan Istana Prabu Siliwangi, nama Siliwangi mulai masuk dalam catatan Kumpeni Belanda. Daerah Bogor selalu dicatatnya dengan nama Pajajaran. Bahkan, Gunung Pangrango disebutnya Gunung Pajajaran. Demikian pula Abraham van Riebeeek dalam ekspedisinya pada 1703, 1704, dan 1709 selalu mencatat tentang de opgank van Pakowang atau rijsenden smallen toegank van Pakowang dan vreeselijke diepe gragt. Sejak permulaan abad 18, nama Pajajaran, nama Pakuan dengan jalan masuknya yang sempit mendaki dan diapit oleh parit yang dalam lagi mengerikan, serta nama Siliwangi sudah populer dalam lingkungan pejabat inti VOC di Batavia. Van Riebeeek bahkan “tergila-gila” oleh kota bekas Pakuan sehingga mendirikan rumah peristirahatan di sana yang dinamainya Somerhuijsje Batoe Toelis.

            Mudah dipahami bila kemudian tumbuh semacam anggapan dalam kalangan kompeni bahwa keturunan Siliwangi adalah golongan bangsawan setempat. Mereka pun melihat bahwa di Pulau Jawa terdapat lapisan atau tingkatan kebangsawanan seperti di Eropa. Oleh sebab itu, untuk penerbitan gelar, G.J. van Imhoff yang bangsawan intelek dan penganut aliran romantisme ajaran Rousseau pada 2 Maret 1745 mengadakan zegelordonantie yang menetapkan tarif untuk permohonan gelar kebangsawan yang terbagi atas empat tingkat, yaitu: Pangeran seharga 150 ringgit; Adipati dan Tumenggung seharga 125 ringgit; Aria seharga 100 ringgit; Ngabehi dan Demang seharga 75 ringgit.

            Akan tetapi, pada 25 Mei 1750 pengelompokan tarif diubah lebih murah menjadi: Pangeran seharga 125 ringgit; Raden, Adipati, Aria, dan Tumenggung seharga 80 ringgit; Ngabehi, Demang, dan Rangga seharga 60 ringgit.

            Dari sinilah tampaknya kekusutan dan kekalangkabutan silsilah Prabu Siliwangi. Setelah Belanda memperjualbelikan gelar kebangsawanan, lalu mengaitkannya pada silsilah Siliwangi, segalanya menjadi berantakan. Tak jelas lagi mana keturunan Prabu Siliwangi yang asli dan mana yang hasil pembelian gelar. Para penguasa pribumi pun memang membutuhkan hal itu untuk mendapatkan legitimasi sebagai keturunan Prabu Siliwangi sehingga mendapatkan hak untuk memerintah, menjadi penguasa, serta mengelola sebuah daerah. Gelar yang terkait dengan Prabu Siliwangi itu menjadi jaminan mutu agar kekuasaannya makin kukuh dan mendapat kepercayaan untuk memimpin.

            Pantas saja saat ini banyak sekali yang mengaku-aku sebagai keturunan Prabu Siliwangi dengan membawa kisah-kisah yang “ngaler-ngidul” nggak jelas ditambah bumbu memiliki harta karun pusaka yang entah ada di mana. Bisa jadi leluhur mereka itu sebenarnya bukan keturunan asli Prabu Siliwangi, melainkan karena “beli gelar” dari penjajah Belanda. Pantas saja kelakuannya aneh. Bilangnya keturunan Prabu Siliwangi, tetapi tidak berperilaku seperti berdarah Siliwangi. Kacau. Kasus ini mah mirip mereka yang ngaku-ngaku sarjana, tetapi sebetulnya hanya dapat dari “beli gelar dan ijazah palsu”. Pantas saja gelarnya sarjana, tetapi cara berpikir dan cara bersikapnya kayak anak lulusan SMP.

            Benar-benar kacau.

            Hati-hati kalau ada yang ngaku-aku keturunan Prabu Siliwangi, padahal tipu. Belum tentu benar. Hati-hati pula kalau ada yang ngaku-ngaku sarjana, padahal beli ijazah di percetakan, tipu juga itu mah.

            Sampurasun

Tuesday, March 21, 2017

Tanda Nabi Prabu Siliwangi as Hidup pada Zaman Sundaland

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Prabu Siliwangi adalah nabi yang hidup pada masa Indonesia masih berupa Benua Sundaland, bukan kepulauan seperti sekarang ini. Penjelasannya baca pada tulisan saya yang lalu berjudul Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam. Indonesia memang dulunya sebuah benua besar yang sangat hebat dan makmur tiada tara serta menjadi pusat awal seluruh peradaban dunia ini. Penjelasannya baca pada tulisan saya yang lalu berjudul Indonesia dalam Pandangan Allah swt.

            Sekarang pada tulisan ini saya ingin berbagi bahwa ada tanda atau bukti bahwa memang Nabi Prabu Siliwangi as adalah tokoh yang pernah hidup di dunia ini dan berada pada masa Sundaland. Tulisan ini sengaja saya buat untuk mengajak berdiskusi mereka yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi hanyalah tokoh sastra dan tidak pernah benar-benar hidup dan mereka yang percaya Prabu Siliwangi adalah memang tokoh sejarah, tetapi sering kalang kabut menyangka bahwa Prabu Siliwangi adalah Raja Sunda pada masa-masa lebih ke sini yang tak jelas raja yang mana, kadang Sri Baduga Maharaja, kadang Lingga Buana Wisesa, kadang Niskala Wastukancana, kadang raja yang lain. Berdiskusi itu baik untuk kesehatan dan bermanfaat untuk mendapatkan kebenaran. Jangan membiasakan diri angkuh merasa paling benar sendiri, padahal hanya sok tahu tanpa ada landasan bukti dan pemikiran yang jelas. Yang penting “gue paling bener”, yang lain “salah”. Perilaku angkuh seperti itu sudah seharusnya dibuang agar semua orang bisa memberikan masukan bermanfaat sehingga mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar.

            Sebagaimana hasil penelitian paling mutakhir, Indonesia dulunya adalah benua yang besar, Benua Sundaland, tetapi hancur berkeping-keping oleh bencana alam yang sangat dahsyat dalam waktu teramat singkat. Air laut meluap hingga menenggelamkan gunung-gunung yang tinggi. Tekanan air laut itu menyebabkan tanah dan batu bergerak sehingga menimbulkan gempa tektonik sekaligus memicu gempa vulkanik yang mengakibatkan gunung-gunung berapi meletus secara bersamaan. Bencana maha mengerikan yang belum pernah terjadi lagi sepanjang sejarah manusia itu mengubur seluruh kekayaan, kemakmuran, kemajuan teknologi, kepesatan spiritualisme, dan peradaban yang teramat tinggi. Kebesaran Benua Sundaland yang mengagumkan itu pun harus hancur dan hilang sama sekali dari muka Bumi.

            Allah swt mengabadikan kehancuran itu dalam Al Quran sebagai akibat dari kemurkaan-Nya kepada manusia-manusia Indonesia yang teramat zalim.

“… Kami jadikan mereka bahan pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.” (QS 34 : 19)

Meskipun demikian, Allah swt masih memberikan kesempatan kepada manusia untuk mempelajari kehebatan penduduk Benua Sundaland masa lalu dengan berbagai karya luar biasanya. Allah swt sengaja membukakan sedikit demi sedikit bangunan-bangunan megah yang berteknologi tinggi dan bernilai spiritual luar biasa yang berupa candi, barang-barang, pusaka, dan istana-istana mewah yang telah terkubur ratusan ribu tahun. Sangat banyak candi dan istana yang belum tergali di perut Bumi Indonesia ini. Bahkan, banyak yang hanya baru muncul ujung istananya. Jika digali, akan tampak istana megah luar biasa karya menakjubkan.

Salah satu istana yang dihancurkan Allah swt dan kemudian ditampakkan lagi itu adalah milik Nabi Prabu Siliwangi as. Tampaknya, orang Indonesia ini selepas masa kenabian Prabu Siliwangi as, Nabi Sulaeman as, Nabi Daud as, dan nabi-nabi lainnya yang tidak semua dicatat Al Quran, telah melakukan penyelewengan perilaku serta penyalahgunaan tempat ibadat dan istana-istana suci menjadi tempat pemujaan Iblis dan syetan laknatullah.

“Dan sungguh, Iblis telah dapat meyakinkan terhadap mereka kebenaran sangkaannya, lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian dari orang-orang Mukmin.” (QS 34 : 20)

Oleh sebab itu, Allah swt menghancurkannya sekalipun itu tempat suci. Tempat suci akan tidak suci lagi jika digunakan untuk kemaksiatan dan kekotoran perilaku serta keyakinan yang salah. Masjidil Aqsha, yaitu “Candi Borobudur” dikubur Allah swt dalam lumpur gara-gara dijadikan tempat pemujaan syetan dan baru ditemukan pada masa kolonial Belanda. Penjelasan tentang ini baca pada tulisan saya yang lalu berjudul Bukan Al Aqsha Yang Itu, Melainkan The Real Al Aqsha.

“….. Maka (lihatlah) bagaimana dahsyatnya akibat kemurkaan-Ku.” (QS 34 : 45)

Demikian pula, istana Nabi Prabu Siliwangi as baru ditemukan kembali di Bogor  oleh anak buah Letnan Tanuwijaya, orang Sumedang, yang menjadi prajurit Belanda. Sersan Scipio, tentara Belanda, mencatatnya ketika dalam ekspedisinya bersama pasukannya mengunjungi daerah Batu Tulis di Bogor pada 1 September 1687. Dalam catatannya, Scipio menulis bahwa istana itu sudah berupa puing-puing dan dikelilingi hutan tua. Puing-puing itu dicatatnya sebagai peninggalan Kerajaan Pakuan atau Pajajaran. Ia pun menjelaskan bahwa dua hari sebelumnya di tempat tersebut seorang anggota ekspedisinya menderita patah leher karena diterkam harimau.

Pada 23 September 1687 G.J. Joanes Camphuijs menulis laporan kepada atasannya di Amsterdam yang di antaranya berbunyi, “Dat hetseve paleijsen specialijek de veherven zitplaets van den javaense. Coning Padzia Dziarum nu gog gedulzig door een groot getal tijgers bewaakt en bewaart wort.”

Artinya, istana tersebut dan terutama tempat duduk yang ditinggalkan kepunyaan Raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau.

Laporan tentang harimau ini berasal dari penduduk Kedung Halang dan Parung Angsana yang mengiringi Scipio dalam ekspedisinya. Mungkin mereka itulah sumber isu bahwa prajurit Pajajaran “berubah wujud menjadi harimau”.

Tiga tahun kemudian Kapiten Adolf Winkler diperintahkan memimpin ekspedisi khusus untuk membuat peta lokasi bekas Pakuan. Pada Kamis, 25 Juni 1690 Winkler beserta rombongannya tiba di lokasi bekas keraton. Ia menemukan een accurate steene vloering off weg (sebuah lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi). Jalan itu menuju ke bekas paseban tua dan di situ ia melihat ada tujuh batang pohon beringin. Dari penduduk Parung Angsana yang mengiringinya, Winkler mendapat penjelasan bahwa yang dilihat mereka itu adalah peninggalan Prabu Siliwangi. Hal-hal itu tertulis dalam makalah Siliwangi sebagai Pangkal Silsilah Kebangsaan (Tradisi Naskah Abad XVIII dan XIX) yang disusun oleh Saleh Danasasmita pada 1991.

Jalan masuk ke wilayah itu di samping sempit, juga mendaki. Jalan masuk itu pun diapit oleh parit yang sangat dalam dan mengerikan. Allah swt memang tampaknya benar-benar murka sehingga jalan menuju ke sana pun benar-benar sulit dan mengerikan.

Reruntuhan puing Istana Prabu Siliwangi as menguatkan tanda bahwa memang Prabu Siliwangi as adalah seorang nabi yang mengajarkan Islam dengan nama agama Sunda Wiwitan pada masa Benua Sundaland. Akan tetapi, sepeninggalnya, banyak orang yang meninggalkan agama Sunda Wiwitan sampai-sampai memuja Iblis dan syetan sehingga Allah swt murka dan menghancurkannya sekaligus menenggelamkannya ke dalam perut Bumi untuk menghancurkan kesombongan dan keangkuhan manusia.

Hari itu kejahatan dan pengingkaran manusia dibalas oleh Allah swt dengan sangat dahsyat. Allah swt berbuat sekehendak diri-Nya sendiri.

Raja pada Hari Pembalasan (QS Al Fatihah : 3).
    
          Sampurasun.

Monday, March 13, 2017

Para Ahli Harus Meluaskan Pandangan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Para ahli sejarah, arkeolog, antropolog, dan lain sebagainya yang keilmuannya menyangkut manusia dan kemanusiaan harus meluaskan pandangannya karena di samping ilmu pengetahuan itu selalu berkembang, juga telah ditemukan kenyataan-kenyataan baru yang jelas bisa menggugurkan pengetahuan lama. Salah satu contoh para ahli harus lebih meluaskan pandangan adalah soal sejarah tentang Nabi Prabu Siliwangi as yang selama ini banyak diteliti dan terus diteliti tak henti-henti dan selalu berakhir dengan menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak tuntas dijawab. Hal itu disebabkan terbatasnya sumber-sumber informasi serta terbatasnya jangkauan pemahaman kita mengenai sejarah dan sosok Prabu Siliwangi as sendiri.

            Salah seorang pangeran dari Kerajaan Islam Cirebon, yaitu Pangeran Wangsakerta mendapatkan perintah dari Sultan Sepuh untuk menelusuri eksistensi Prabu Siliwangi as. Hal itu disebabkan nama Prabu Siliwangi as selalu harum di masyarakat, terutama masyarakat Sunda. Sosok Prabu Siliwangi sangat dirindukan dan dibanggakan.

            Dalam penelitiannya, Pangeran Wangsakerta kesulitan mendapatkan hasil yang benar mengenai Prabu Siliwangi. Hal itu disebabkan dia menelusurinya dengan menggunakan data-data dari carita pantun, pengalaman-pengalaman Belanda, serta syair-syair lain yang semuanya tampak bernilai sastra dan bukan sejarah. Oleh sebab itu, ia menyimpulkan bahwa nama Siliwangi sebagai raja Sunda tidak tercatat dalam pustaka-pustaka sejarah. Hanyalah orang-orang Jawa Barat yang menggunakan sebutan Prabu Siliwangi (Saleh Danasasmita: 1991).

            Memang dalam kenyataannya di kalangan masyarakat Sunda sendiri pun tidak memiliki kejelasan yang pasti tentang raja yang mana yang bernama Prabu Siliwangi. Nama Prabu Siliwangi kerap dijadikan sesebutan untuk raja Sunda yang mana saja yang dianggap masyarakat sebagai raja yang adil, baik hati, dan mampu memberikan keamanan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Ada banyak raja yang disebut Prabu Siliwangi, misalnya, Sri Baduga Maharaja, Lingga Buana Wisesa, dan Niskala Wastu Kancana.

            Tampaknya sesebutan itu merupakan penghargaan masyarakat kepada rajanya yang dipandang telah mampu menjalankan amanah atau ajaran dari Nabi Prabu Siliwangi as yang pernah hidup dulu ketika Indonesia masih berupa Benua Sundaland dan bukan kepulauan seperti sekarang ini.

            Hasil penelitian para ahli yang ada sekarang seluruhnya tidak meraih atau tidak menelaah kehidupan pada masa Indonesia masih berupa Benua Sundaland karena pengetahuan mengenai Benua Sundaland sendiri baru dipahami sekarang-sekarang ini. Para ahli hanya menggunakan sumber-sumber informasi pada masa Indonesia sudah berupa kepulauan seperti sekarang ini. Dengan demikian, sumber informasi yang digunakan sangatlah terbatas dan terkadang mengalami kebuntuan.

            Ketika pemahaman baru muncul, yaitu Indonesia dulunya adalah sebuah benua yang sangat besar, otomatis pengetahuan tentang sejarah Indonesia, manusia Indonesia, bahkan hubungan antarmanusia di dunia ini pun seharusnya berubah pula. Kita tidak bisa lagi menerima begitu saja pemahaman-pemahaman lama yang tidak mengikutsertakan eksisnya Benua Sundaland. Apabila masih bertahan pada pemahaman lama, tanpa Benua Sundaland, kita akan terjebak seperti terjebaknya orang yang memahami bahwa “pelangi adalah jalan para puteri dari kahyangan untuk melakukan berbagai urusan di Bumi”. Soal pelangi adalah jalan yang menghubungkan kahyangan dengan Bumi, adalah pengetahuan lama yang sudah usang karena ada pengetahuan baru yang menggantikannya, yaitu “pelangi tercipta karena sinar Matahari yang menembus butiran air di langit sehingga menimbulkan spektrum rupa-rupa warna”.

            Orang yang masih percaya bahwa pelangi adalah jalan tol dari kahyangan menuju Bumi adalah orang yang ketinggalan zaman. Begitu pula orang yang masih percaya dengan berbagai pengetahuan yang tidak melibatkan eksistensi Benua Sundaland adalah orang yang ketinggalan zaman atau orang kolot yang bertahan pada kekolotannya.

            Para ahli harus meluaskan pandangannnya. Pendapat Pangeran Wangsakerta pada abad XVII tentang Prabu Siliwangi tersebut wajib mendapatkan kritikan keras karena tidak mengikutsertakan eksistensi Benua Sundaland. Dengan hadirnya pemahaman baru, kita dapat lebih jauh menjangkau berbagai pengetahuan baru. Bahkan, saya sendiri meyakini bahwa Prabu Siliwangi as adalah Nabi Allah swt. Hal itu disebabkan dilihat dari ajaran Sunda Wiwitan yang berintikan tauhid  dalam bahasa Sunda dan setiap ajaran tauhid harus memiliki nabi. Satu-satunya orang yang diyakini tidak memiliki noda cela sepanjang hidupnya dalam keyakinan orang Sunda hanyalah Prabu Siliwangi, tidak ada sosok lain. Oleh sebab itu, Prabu Siliwangi adalah nabi yang hidup jauh sebelum Nabi Muhammad saw lahir karena tak ada nabi setelah Muhammad saw. Di samping itu, Allah swt dalam QS Saba menjelaskan bahwa tak ada nabi yang diutus ke Indonesia dan tak ada kitab yang diwajibkan dibaca pascabencana besar yang membuat Benua Sundaland menjadi archipelago seperti saat ini.

            Setelah bencana mahadahsyat itu, orang-orang beriman Indonesia yang selamat hanyalah hidup dengan menggunakan ajaran dari para nabi terdahulu yang diutus dalam masa Sundaland. Ajaran-ajaran itulah yang kita sebut sekarang ini sebagai kearifan lokal, local wisdom.

            Baru setelah Muhammad saw menjadi nabi, Indonesia pun didakwahi secara langsung oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Tak ada nabi yang diutus ke Indonesia pascabencana besar, kecuali Muhammad saw. Begitu yang diberitakan Allah swt dalam QS Saba. Untuk lebih jelasnya, para pembaca bisa pelajari tulisan saya yang lalu yang berjudul Indonesia dalam Pandangan Allah swt dan Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam.

            Sampurasun.

Thursday, March 9, 2017

Penyesalan Gajah Mada

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Mahapatih Gajah Mada adalah orang perkasa yang memiliki ambisi besar untuk mempersatukan Nusantara. Ambisinya ini hampir menjadi kenyataan, tetapi terganjal oleh satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Pajajaran. Ketika kerajaan-kerajaan di Nusantara ini sudah tunduk dan takluk pada kekuasaan Majapahit, Kerajaan Sunda Pajajaran tetap berdiri tegak.

            Karena sulitnya untuk menaklukan Pajajaran, Gajah Mada selalu menunggu waktu yang tepat untuk menguasai Pajajaran. Waktu yang tepat itu memang tiba. Ketika Raja Majapahit Hayam Wuruk jatuh cinta kepada Puteri Kerajaan Sunda Dyah Pitaloka Citra Resmi, Raja Sunda Pajajaran Lingga Buana Wisesa menyetujuinya. Kemudian, Raja Sunda itu bersama rombongan mengantarkan puterinya, Dyah Pitaloka, ke Majapahit untuk dinikahi Hayam Wuruk. Gajah Mada melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk menaklukan Kerajaan Sunda. Ketika tiba rombongan Pajajaran berada di Bubat, wilayah yang masih merupakan kekuasaan Majapahit, Gajah Mada mencegatnya. Gajah Mada menginginkan Dyah Pitaloka Citra Resmi diserahkan ke Majapahit sebagai upeti dari Pajajaran kepada Hayam Wuruk. Tentu saja itu dianggap penghinaan oleh keluarga Sunda Pajajaran. Terjadilah pertempuran hebat antara rombongan Sunda yang hanya sekitar delapan puluh orang termasuk juru rias pengantin dan juru masak melawan lima ribu pasukan Majapahit Gajah Mada yang lengkap dengan tentara tempur berkendaraan gajah dan kuda.

            Pertarungan tidak seimbang itu berlangsung sejak pagi hingga sore hari. Rombongan kecil Pajajaran tentu saja mengalami kekalahan total. Raja Lingga Buana Wisesa pun gugur hingga diberi gelar “Sang Mokteng Bubat”. Dyah Pitaloka yang melihat seluruh keluarganya yang berada di dalam rombongan itu gugur segera mengambil tusuk kondenya dan bunuh diri dengan itu, tidak sudi dijadikan upeti oleh Gajah Mada. Rombongan Pajajaran pun seluruhnya gugur tak bersisa.

            Raja Hayam Wuruk yang belakangan baru mengetahui peristiwa itu menyesal, marah, dan sedih bukan main. Ia sudah membayangkan nikmatnya hidup bersama Dyah Pitaloka Citra Resmi yang cantik jelita. Ia sudah memilih Puteri Pajajaran itu untuk dijadikan isterinya setelah mengamati seluruh puteri tercantik se-Nusantara yang pernah ditawarkan kepadanya.

            Bagaimana dengan Gajah Mada selanjutnya?

            T.D. Sudjana dalam artikelnya yang berjudul Tokoh Siliwangi dalam Pandangan Tradisi Keraton Cirebon (1991) menjelaskan secara singkat nasib Gajah Mada pascaperang Bubat yang gagal total dalam mewujudkan segala ambisinya itu. Menurutnya, setelah perang yang memalukan itu, Gajah Mada setiap malam selalu bersedih hati. Penyesalan demi penyesalan membayangi dia tanpa henti dan tak terhingga rasanya. Hidupnya selalu dihantui perasaan bersalah dan penuh dosa. Ia tidak pernah bisa benar-benar memejamkan matanya ketika malam tiba. Satu-satunya jalan pelampiasannya adalah dengan meminum tuak hingga jatuh terkapar saking mabuknya. Kebesaran namanya menjadi suram. Akhirnya, ia meloloskan diri dari keramaian kerajaan dan pemerintahan Majapahit. Kemudian, Gajah Mada menyembunyikan dirinya bersunyi-sunyi memohon pengampunan Dewata.

            Saya menulis ini dengan maksud agar kita yang hidup di zaman ini dapat berkata jujur, berlaku adil, dan tidak perlu menutup-nutupi kesalahan yang telah terjadi pada masa lalu. Bahkan, tak perlu sungkan melakukan kritik jika di dalam sejarahnya terdapat kekeliruan yang dilakukan pembesar-pembesar Jawa. Hal itu sebagaimana yang saya lakukan, sebagai orang Sunda, saat mengkritik Pangeran Sunda Benteng Pajajaran Kian Santang yang bersikap dan berperilaku radikal karena menyetujui bahkan menyokong penggunaan kekerasan senjata dalam menyebarkan Islam sehingga menaklukan kerajaan lain agar masyarakatnya menjadi muslim.

            Kita harus menyadari bahwa leluhur Pajajaran dan leluhur Majapahit memiliki banyak kesamaan. Kita pun wajib menyadari bahwa mereka juga manusia seperti kita yang memiliki banyak kesalahan dan memiliki banyak kebaikan. Semua kesalahan yang terjadi pada masa lalu harus kita akui dengan besar hati, lapang dada, dan berlaku adil dalam menyikapinya. Tidak perlu menutupi keburukan karena akan terbuka juga. Segala kebaikan yang sudah terjalin sejak dulu hendaknya selalu ditingkatkan.

            Persoalan Perang Bubat telah selesai. Keturunan Majapahit sudah meminta maaf kepada keturunan Pajajaran. Dua keturunan ini sudah banyak yang melebur dalam pernikahan. Tak ada gunanya lagi meneruskan perasaan permusuhan. Tak ada suku yang lebih tinggi dibandingkan suku lainnya. Semua manusia diciptakan Allah swt dalam keadaan sama-sama dicintai Allah swt. Orang yang paling baik dan paling mulia adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah swt. Derajat ketakwaanlah yang menjadi ukuran manusia buruk atau mulia di hadapan Allah swt, bukan berdasarkan sukunya karena kita semua tidak pernah mengajukan request kepada Allah swt untuk dilahirkan menjadi suku tertentu. Kita diciptakan dalam suku masing-masing sesuai dengan kehendak dan rencana Allah swt.


            Sampurasun