Tuesday, November 9, 2010

Bencana Merapi dalam Uga Wangsit Siliwangi dan Ramalan Sabdo Palon

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon

Sebenarnya, berbagai hal termasuk bencana-bencana yang saat ini tengah berlangsung, leluhur kita sudah mewanti-wantinya ratusan tahun silam. Mereka sudah menggambarkannya untuk kita. Akan tetapi, sayangnya, kita, kebanyakan, terutama saya sendiri, sempat kurang atau bahkan tidak menghormati wasiat-wasiat leluhur tersebut. Hal itu disebabkan kita sudah terlalu lama berada dalam kehidupan yang terlalu tinggi menilai sesuatu yang bersifat materi, duniawi. Lingkungan sudah membentuk setiap pribadi sebagai sosok yang disiapkan untuk mencari materi, kekayaan, kekuasaan dengan mengesampingkan hal-hal yang bernilai spiritual. Kita sangat bangga jika sudah bisa mengumpulkan materi yang banyak dan merasa lebih hebat jika menjadi orang nomor satu paling banyak hartanya di antara orang-orang dekat, apalagi jika mampu menjadi paling kaya di lingkungan atau komunitas tertentu. Padahal, Allah swt sama sekali tidak pernah menilai kita dari banyak-sedikitnya materi yang kita punyai. Allah swt hanya menilai tingkat ketakwaan kita kepada-Nya, itu saja, tidak ada yang lain. Akibatnya, kita menjadi kurang waspada terhadap fenomena-fenomena alam dan sama sekali kurang atau mungkin tidak siap untuk menghadapinya.

Kita bahkan sering menganggap bahwa wasiat-wasiat leluhur itu merupakan produk yang kolot, kuno, terbelakang, dan tidak ilmiah. Padahal, sesungguhnya, memiliki nilai ilmiah yang tinggi jika dipelajari secara lebih serius. Di samping itu, para leluhur kita itu memberikan wasiat tersebut atas dasar tanggung jawabnya terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pengabdian kepada Tuhan. Di dalam wasiat tersebut terdapat nuansa cinta, kasih sayang, tanggung jawab, perhatian, kecerdasan, pengabdian, kemuliaan, keluhuran, kesucian, serta tentunya keperkasaan.

Bencana Merapi dan bencana-bencana lain jika kita mengikuti wasiat leluhur tersebut sesungguhnya merupakan akibat dari tingkah laku manusia yang sudah kelewat batas dari nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Alam dan kita sesungguhnya terhubung sangat erat. Karena manusia melakukan banyak keburukan, terjadilah ketimpangan dalam hubungan tersebut. Kita mungkin tidak merasakannya, tetapi sebetulnya disharmoni tersebut telah dan terus terjadi. Kita dan alam sekitar itu terhubung karena kita semuanya berasal dari Zat Yang Satu, Allah swt.

Berikut ini saya kutipkan satu paragraf dari Uga Wangsit Siliwangi.

Dalam bahasa Sunda.

“Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui, tapi engké lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat. Urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa jaya, jaya deui sabab ngadeg ratu adil. Ratu adil nu sajati.”

Dalam bahasa Indonesia.

“Dengarkan semuanya! Zaman bakalan ganti lagi, tetapi nanti setelah Gunung Gede meletus yang disusul meletusnya tujuh gunung. Gempar lagi seluruh dunia. Orang Sunda dipanggil-panggil. Orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Senegara bersatu lagi. Nusa jaya, jaya lagi sebab berdiri Ratu Adil. Ratu Adil yang sejati.

Dalam paragraf tersebut, ada pernyataan bahwa Gunung Gede akan meletus. Ada dua pendapat mengenai hal ini. Yang dimaksud Gunung Gede itu bisa memang gunung yang bernama Gede, bisa pula gunung gede dalam arti “gunung yang berukuran besar”. Dalam bahasa Sunda, gede itu artinya besar. Oleh sebab itu, ada dua penafsiran mengenai gunung tersebut.

Jika memang yang dimaksud adalah gunung yang bernama Gede, lebih tepatnya Gunung Gede, kita akan menghadapi bencana yang lebih besar daripada Gunung Merapi. Hal itu disebabkan Prabu Siliwangi mengatakannya dengan pasti, sedangkan Merapi yang sudah meletus menakutkan saja sedikit pun tidak disingung-singgung. Artinya, peristiwa itu adalah sangat penting untuk diperhatikan. Berarti pula, Merapi itu hanya bagian kecil dari peristiwa yang akan datang dengan bencana yang lebih hebat lagi. Setelah Gunung Gede meletus, bakalan ada lagi tujuh gunung yang meletus. Dunia pun gempar dibuatnya. Kita kini tinggal menunggu kejadiannya dan sudah semestinya banyak mendekatkan diri kepada Allah swt.

Jika yang dimaksud adalah gunung yang berukuran besar, gunung tersebut adalah Gunung Merapi yang sekarang sedang sangat aktif. Dua pendapat mengenai gunung tersebut dapat dipahami dengan mudah karena yang namanya wangsit itu turun melalui lisan, bukan tulisan. Wangsit yang turun secara lisan itu, kemudian ditulis oleh para penerusnya. Para penyampai wangsit itu menulisnya dengan huruf awal kapital, Gunung Gede, bukan menulisnya gunung gede. Hal itu disebabkan dalam kalimat lisan, tidak jelas mana yang harus diberi kapital. Oleh sebab itu, wajar jika ada dua pendapat.

Saya sendiri berharap bahwa bukan Gunung Gede yang dimaksud, melainkan gunung gede atau gunung besar yang namanya Merapi. Dengan demikian, tinggal tujuh gunung lagi yang akan meletus meskipun menurut sumber resmi yang banyak dilansir media massa, ada 22 gunung berapi yang aktivitasnya mulai meningkat secara mencolok akhir-akhir ini.

Yang membuat saya sedih adalah Prabu Siliwangi mengatakannya anggeus bitu, bukan enggeus bitu. Kalau enggeus bitu, artinya ‘sudah meletus’, sedangkan anggeus bitu, artinya ‘meletus secara tuntas’. Karena kata yang digunakannya adalah anggeus bitu, Merapi saat ini tampaknya belum anggeus bituna, ‘belum tuntas meletusnya’. Merapi masih terus memuntahkan laharnya. Tak seorang ahli di dunia pun tahu kapan berhentinya.

Hal itu merupakan pertanda dari Allah swt sendiri bahwa Dia mampu melakukan apa saja dari jalan mana saja tanpa bisa diduga sebelumnya oleh manusia, bahkan oleh malaikat sekalipun. Dia adalah Mahakuat yang mampu melumatkan apa saja dan siapa saja yang dikehendaki-Nya sendiri. Peristiwa itu akan menjadi pelajaran teramat berharga bagi orang-orang yang berpikir.

Harapan saya pun disandarkan pada ramalan Sabdo Palon yang mengatakan bahwa perubahan zaman itu ditandai dengan meletusnya Gunung Merapi. Itu bisa berarti bahwa yang dimaksud Prabu Siliwangi adalah gunung yang berukuran besar, namanya Gunung Merapi.

Berikut saya kutipkan ramalan Sabdo Palon dalam bahasa Indonesia. Saya memang tidak menyertakan bahasa Jawa sebagai sumber aslinya karena cape ngetikna. Kalau Uga Wangsit Siliwangi kan berbahasa Sunda, jadi saya tidak terlalu cape ngetiknya karena saya orang Sunda. Redaksi ramalan tersebut sengaja saya ubah sedikit agar lebih mudah dipahami dan tidak menimbulkan fitnah karena jika tidak hati-hati membacanya, bisa timbul kesalahpahaman atau fitnah yang sangat merugikan banyak orang.

Ramalan Sabdo Palon

Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang Negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh punakawannya yang bernama Sabdo Palon Noyo Genggong.

Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya, “Sabdo Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama yang suci dan baik.”

Sabdo Palon menjawab kasar, “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang setanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah Jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.

Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun, Sang Prabu, kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun, saya akan mengajarkan budi pekerti lagi. Saya sebar ke seluruh tanah Jawa.

Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan! Mereka akan saya jadikan makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan! Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini, yaitu bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.

Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Saya sudah mulai menyebarkan lagi ajaran budi pekerti. Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat diubah lagi.

Kelak akan datang waktunya yang paling sengsara di tanah Jawa ini, yaitu pada tahun Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai, sudah datang di tengah-tengah, tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.

Bahaya yang mendatangi tersebar ke seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan, tidak mungkin disingkiri lagi sebab dunia ini ada ditangan-Nya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tani pun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayu pun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis, banyak maling. Siang hari banyak begal.

Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit, sorenya telah meninggal dunia.

Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat, persis lautan pasang.

Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besar pun terhanyut dengan gemuruh suaranya.

Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal, sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikit pun.

Gempa bumi tujuh kali sehari sehingga membuat susahnya manusia. Tanah pun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakit pun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.”

Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang tiba-tiba. Dirinya tidak tampak lagi. Ia kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun, bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.

Demikianlah, Gunung Merapi sudah dikatakan sejak ratusan tahun silam akan meletus. Sayangnya, kita, terutama mereka yang sekarang berkuasa tidak memperhatikannya. Bahkan, sering mengolok-olok wasiat-wasiat para leluhur tersebut. Padahal, wasiat-wasiat itu sangat berguna bagi kita yang hidup saat ini. Memang benar kita harus hati-hati membacanya agar tidak terperosok dalam jurang fitnah.

Dalam istilah pewayangan, terutama wayang kulit, hadirnya Sabdo Palon mengajarkan kembali budi pekerti yang ditandai dengan letusan menggelegar Gunung Merapi dikenal dengan istilah Semar Ngejawantah.

Adapun Prabu Siliwangi mengatakannya sebagai tanda perubahan zaman. Jaman bakal ganti deui.


Prabu Siliwangi Bertutur tentang Kejahatan Zaman Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon

Sebelum ngahiang, ‘pergi bersatu menuju Tuhan’, Prabu Siliwangi berpesan kepada pengikutnya yang berupa gambaran pada masa depan. Ia menggambarkan hiruk pikuk yang terjadi dalam zaman demokrasi.

Zaman demokrasi tanpa embel-embel dalam arti bukan terpimpin dan bukan Pancasila sejatinya dimulai pada masa kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur. Era demokrasi bukanlah dimulai masa Presiden Habibie meskipun Habibie sendiri merupakan Presiden RI pertama yang dianggap mampu melangsungkan Pemilu yang lebih jujur, adil, langsung, bebas, dan rahasia dibandingkan Pemilu-Pemilu sebelumnya pada Orde Baru. Hal itu disebabkan era Habibie masih satu zaman dengan Soeharto. Oleh sebab itu, sosok Habibie tidak disebut-sebut dalam Uga Wangsit Siliwangi.

Perlu diketahui, Prabu Siliwangi menggambarkan kondisi setiap zaman dengan menekankan pada zaman itu sendiri, bukan pemimpinnya. Oleh sebab itu, Prabu Siliwangi menandai setiap zaman dengan presiden atau pemimpin yang mengawali zaman tersebut. Ia berpandangan bahwa kondisi zamanlah yang menggerakkan sosok pemimpin dan rakyatnya sekaligus. Dengan demikian, tidak seluruh sosok presiden RI disebut dalam Uga Wangsit Siliwangi. Dalam uganya, ia hanya menyebut atau menggambarkan sosok Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Hal itu disebabkan zaman Soekarno dan zaman Soeharto berbeda zaman sekaligus berbeda orang. Adapun Habibie masih satu zaman dengan Soeharto, jadi namanya tidak disebut-sebut. Zaman pun berubah, yaitu zaman Gus Dur, zaman reformasi, zaman demokrasi. Zaman Gus Dur ini berlanjut sampai sekarang, sampai tulisan ini diturunkan. Oleh sebab itu, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak disebut-sebut namanya karena masih satu zaman dengan Gus Dur.

Berbeda dengan prediksi-prediksi Jawa yang lebih menekankan sosok presiden dibandingkan zaman. Dalam prediksi Jawa, sosok pemimpin itulah yang mempengaruhi zaman. Meskipun demikian, gambaran keseluruhan mengenai keadaan Indonesia, baik menurut Uga Wangsit Siliwangi maupun prediksi Jawa adalah sama.

Kitab Musarar Jayabaya merinci para pemimpin Indonesia sebagai berikut.

  1. Lung Gadung Rara Nglikasi: Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita. Ini menunjuk pada sosok Ir. Soekarno.
  2. Gajah Meta Semune Tengu Lelaki: Raja yang disegani/ditakuti, namun nista dan hina. Sosoknya menuju kepada Soeharto.
  3. Panji Loro Semune Pajang Mataram: Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan. Sosok Gus Dur memang adu kekuatan dengan Megawati.
  4. Rara Ngangsu, Randa Loro Nututi Pijer Atetukar: Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya. Sosok ini adalah Megawati yang selalu diintai kedua saudara perempuannya.
  5. Tan Kober Apepaes Tan Tinolih Sinjang Kemben: Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan. Sosoknya adalah Susilo Bambang Yudhoyono.
Habibie tidak disebut-sebut karena masih dianggap merupakan kepanjangan tangan atau sisa-sisa kekuasaan Soeharto.

Adapun R. Ng. Ronggowarsito merinci pemimpin Indonesia sebagaimana berikut ini.
  1. Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro: Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (kinunjoro) yang membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan menjadi pemimpin yang sangat tersohor di seluruh jagat (murwo kuncoro). Tokoh yang dimaksud adalah Soekarno.
  2. Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar: Tokoh pemimpin yang berharta dunia (mukti) juga berwibawa/ditakuti (wibowo), namun mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk, dan selalu dikaitkan dengan segala keburukan/kesalahan (kesandung kesampar). Tokoh ini adalah Soeharto.
  3. Satrio Jinumput Sumela Atur: Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (jinumput), tetapi hanya dalam masa transisi (sumela atur). Tokoh ini menunjuk kepada B.J. Habibie.
  4. Satrio Lelono Tapa Ngrame: Tokoh pemimpin yang suka mengembara/keliling dunia (lelono), tetapi seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan religius yang cukup/rohaniawan (tapa ngrame). Tokoh ini adalah K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Dur.
  5. Satrio Piningit Hamong Tuwuh: Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (hamong tuwuh). Tokoh yang dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri.
  6. Satrio Boyong Pambukaning Gapuro: Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (boyong) dan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan (pambukaning gapuro). Banyak pihak yang meyakini tafsir dari tokoh yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono.
Demikian, mudah-mudahan didapat sedikit kejelasan mengenai perbedaan antara Uga Wangsit Siliwangi dengan prediksi-prediksi berdasarkan spiritualis Jawa.

Kembali pada maksud tulisan ini. Prabu Siliwangi menggambarkan kejahatan-kejahatan dalam masa demokrasi yang terjadi saat ini kita rasakan bersama.

Pesannya dalam bahasa Sunda.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Dalam bahasa Indonesia.

Terus, berdiri lagi raja, tetapi raja buta yang membangun gerbang yang tidak boleh dibuka, membangun pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran di tengah jalan, memelihara elang di pohon beringin karena memang raja buta! Bukan buta pemaksa jahat yang sewenang-wenang, tetapi buta tidak dapat melihat, buta matanya. Buaya dan serigala, kucing garong dan monyet mencakar-cakar dan menggerogoti rakyat yang sedang dalam keadaan susah. Sekalinya ada yang mengingatkan, yang diburu bukan binatangnya, melainkan orang yang mengingatkan tersebut. Makin lama makin lama, banyak raksasa yang jahat. Mereka menyuruh menyembah lagi berhala. Pergaulan anak muda salah jalan. Kesalahan pergaulan itu diakibatkan oleh salahnya aturan dari pemerintah. Undang-undang dan hukum hanya ada di mulut dan dalam diskusi-diskusi kosong tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan para pejabatnya bukan ahlinya, buah padi banyak yang tidak masuk ke dapur rakyat. ........................ Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

Dalam uga tersebut, Prabu Siliwangi menggambarkan bahwa pada masa demokrasi ini banyak sekali pemimpinnya. Memang pada saat demokrasi merajalela bertebaran para pemimpin yang berada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, ditambah lagi mereka yang bergerak di LSM-LSM. Para pemimpin itu digambarkannya sebagaimana binatang dengan sifat-sifatnya, yaitu buaya, serigala, kucing garong, dan monyet.

Buaya memiliki kekejaman yang luar biasa. Ia memiliki habitat di air yang tidak setiap makhluk hidup bisa bertahan. Kalau mendapatkan mangsa, dia putar mangsanya sampai seluruh tulang-belulangnya patah-patah, lalu dimakannya hingga habis secara bertahap. Serigala memiliki gigi tajam dan wajah yang menyeramkan. Dalam keadaan sendiri saja ia bisa membunuh mangsa yang lebih besar daripada dirinya. Akan tetapi, itu jarang dilakukannya. Serigala biasanya membunuh dengan cara berkelompok, keroyokan. Dengan gigi tajamnya ia bisa merobek-robek mangsanya untuk kemudian dimakan secara beramai-ramai dalam pesta pora darah. Kucing garong memiliki kebiasaan yang mengesalkan. Dia mencuri makanan yang akan kita santap, baik mentahnya apalagi kalau sudah dimasak. Jika kita tidak waspada, bisa-bisa makanan yang sudah ada di meja makan habis dicurinya. Meskipun bisa merebutnya kembali, biasanya kita enggan untuk mengambilnya karena sudah digigitnya dan itu menjijikan. Monyet memiliki sifat serakah yang luar biasa. Ia tidak hanya cukup makan sampai kenyang, tetapi menyimpan pula makanan di dalam mulutnya sampai pipinya menonjol, mengembang besar sekali.

Itulah sifat-sifat manusia yang berkuasa pada masa reformasi. Memang tidak semuanya, masih banyak yang baik-baik, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan memiliki kekuatan yang sangat lemah dibandingkan dengan mereka yang punya sifat binatang tadi.

Para manusia binatang itu pekerjaannya adalah mencakar-cakar rakyat yang sedang hidup susah. Mereka melakukannya dengan menggunakan hak-haknya sebagai penguasa. Rakyat pun yang menjadi mangsanya semakin hari semakin susah.

Apabila di antara elemen bangsa ada yang memberikan peringatan, protes, memberitahukan tentang berbagai kejahatan dengan harapan ada perbaikan, yang diurus bukan masalahnya, tetapi orang-orang yang mengingatkan itulah yang disudutkan dan dipersulit hidupnya. Dalam zaman ini banyak sekali aktivis bahkan pejabat tinggi sekalipun yang digeser kedudukannya dan dipersempit ruang gerak hidupnya gara-gara dianggap membukakan kedok kejahatan dalam pemerintahan.

Banyak di antara penguasa yang duduk pada awal-awal masa reformasi untuk membenahi kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik, berubah menjadi raksasa-raksasa jahat yang menggunakan kewenangannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Dengan adanya demokrasi dan pemekaran wilayah, raksasa-raksasa jahat ini semakin banyak jumlahnya, bejibun.

Karena telah mengalami nikmatnya kekuasaan dan memahami dengan baik celah-celah untuk menjahati dan menipu rakyat. Mereka tambah senang sehingga mempertahankan sistem politik dan struktur politik saat ini. Setiap saat dalam berbagai kesempatan mereka menggemakan bahwa demokrasi itu adalah sistem politik yang terbaik, paling unggul, tidak ada yang mengalahkan. Mereka pun berupaya terus agar rakyat percaya terhadap tipuannya itu. Mereka terus menanamkan keyakinan itu kepada rakyat. Akibatnya, banyak sekali rakyat yang benar-benar meyakininya. Itulah yang dimaksud Prabu Siliwangi dengan naritah deui nyembah berhala, ‘menyuruh lagi menyembah berhala’. Berhala yang dimaksud adalah berhala demokrasi dan pemikiran-pemikiran kapitalis dengan slogan suara rakyat suara Tuhan. Brengsek benar mereka, slogan itu sesungguhnya tidak masuk akal dan tidak masuk ilmu pengetahuan!

Anak-anak muda salah pergaulan. Tak hormat lagi kepada yang lebih tua. Rasa malu sudah hampir sirna. Derajat manusia pun semakin rendah. Hal itu disebabkan berhala demokrasi tadi yang memberikan ruang terlalu besar untuk hidup terlalu bebas tanpa aturan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan manusia. Pemerintah pun mengamini kebebasan itu. Tak bisa berbuat apa-apa meskipun hatinya tahu bahwa hal itu tidak benar.

Hukum dan aturan hanya ada di mulut dan diskusi-diskusi kosong di berbagai media dan beragam seminar tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan dalam alam demokrasi hampir setiap penguasa, setiap pejabat memiliki keterkaitan hutang-piutang dengan pihak lain, baik itu bernilai materi maupun nonmateri.

Dengan keadaan yang demikian itu, sudah pasti rakyat tetap saja dalam keadaan susah bahkan terus meluncur ke arah kesusahan yang lebih mengerikan. Untuk bisa makan saja, sulit bukan main. Masih beruntung kalau ada yang meminjami uang untuk makan. Kalau tidak, bakal kelaparan karena dapurnya tidak ngebul.

Dalam akhir paragraf tersebut, Prabu Siliwangi memberikan penerangan bahwa yang salah adalah rakyat-rakyat juga yang ikut pesta demokrasi dengan memilih para pendusta, koruptor, pengkhianat, pengingkar janji, dan tidak ahli dalam bidangnya. Rakyat telah tertipu dengan janji manis demokrasi dan terus berada dalam ketertipuannya. Menyedihkan memang. Demokrasi itu lingkaran syetan yang telah berputar sempurna sehingga rakyat yang susah itulah yang dipersalahkan karena telah mendukung sistem politik yang kampungan dan hina itu.

Sang Prabu pun menegaskan bahwa orang-orang pintar itu banyak, tetapi pintarnya keblinger. Orang-orang pintar itu tidak menggunakan kepintarannya untuk kemuliaan manusia dan kemanusiaan, tetapi sama dengan binatang, yaitu sekedar untuk mencari makan dan berupaya untuk hidup lebih mewah.

Itulah kejahatan demokrasi dalam gambaran Uga Wangsit Siliwangi. Jika di antara pembaca ada yang menolak tulisan ini, sebutkan di mana kesalahannya. Toh, itu semua memang terjadi bukan?

Kerusakan negara akibat demokrasi bukan hanya itu. Prabu Siliwangi pun menjelaskan lebih lanjut.

Dalam bahasa Sunda.

Buta-buta nu baruta. Mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

Dalam bahasa Indonesia.

Raksasa-raksasa yang beringas semakin hari semakin bandel, sombong, pongah, brutal, dan sewenang-wenang melebihi kerbau bule. Mereka tidak sadar bahwa zaman manusia sudah dikuasai binatang!

Bukankah ini merupakan kenyataan pula?

Di saat saudara-saudara kita kesusahan, kelaparan, dan diderita bencana alam mengerikan, raksasa-raksasa itu malah pergi ke luar negeri. Tak ada rasa empati. Membangun gedung-gedung megah. Terus menghamburkan uang untuk kepentingan politiknya. Berkelit dari segala tuduhan hukum meskipun sudah jelas-jelas salah. Mereka tetap masih berdasi mengendarai mobil-mobil mewah dalam keadaan bersalah, sementara rakyat kecil yang terkait hukum mendekam berkepanjangan dalam buian, padahal belum tentu bersalah. Benar kata Prabu Siliwangi bahwa banyak penguasa yang kelakuannya sudah melebihi kerbau bule, melebihi penjajah asing berkulit putih itu. Kita sebenarnya lebih menderita dibandingkan penjajahan Belanda dulu. Mereka tidak sadar dan rakyat pun banyak yang tidak sadar bahwa zaman ini adalah zamannya negeri dikuasai para binatang!

Hentikan demokrasi! Ubah sistem dan struktur politik sesuai dengan jati diri dan jiwa bangsa dengan melalui rekam jejak para leluhur kita.

Saturday, October 30, 2010

Prabu Siliwangi Tetap Mengarahkan Rakyatnya

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon

Prabu Siliwangi telah ngahiang, ‘bersatu dengan Tuhan’, ratusan tahun silam, tetapi tetap memimpin sampai saat ini. Ia tetap memberikan bekal yang saat ini masih relevan menjadi petunjuk kepada rakyatnya. Hal itu menunjukkan ia memiliki visi yang sangat jauh ke depan dan memiliki banyak gambaran mengenai hal-hal yang akan terjadi pada ratusan tahun berikutnya sejak dirinya ngahiang. Sang Prabu berharap bahwa petunjuk-petunjuknya dapat dijadikan semacam kompas dan panduan oleh rakyatnya yang mau tidak mau, atas izin Allah swt, akan mengalami berbagai peristiwa. Ia ingin rakyatnya dapat hidup lebih baik lagi sepeninggalnya.

Prabu Siliwangi tidak meniup-niupkan dendam kepada rakyatnya agar membalaskan dendam kepada mereka yang telah memusuhinya yang mengakibatkan Kerajaan Pajajaran luluh lantak, hilang musnah, kecuali namanya. Ia tidak memberikan pesan yang berupa strategi untuk melakukan perang-perang selanjutnya. Prabu Siliwangi justru menyemangati rakyatnya agar dapat hidup berdampingan dengan siapa saja di bawah kekuasaan siapa saja. Ia sangat paham bahwa meniup-niupkan dendam hanya akan membuat rakyatnya marah dan merasa diri lebih superior dibandingkan suku lain. Hal itu sama saja dengan membuat rakyat Sunda dan seluruh nusantara ini hancur berantakan yang dimulai dengan keangkuhan, fitnah, pertentangan, pertarungan, dan berujung pada malapetaka kehancuran.

Dengan wasiatnya yang tetap memimpin sampai hari ini, Prabu Siliwangi menginginkan rakyatnya mampu ngigelan zaman, ‘menari mengikuti irama segala zaman’ sehingga dapat selamat dari berbagai bencana, bahkan menjadi anutan bagi semua orang, baik dulur atawa batur, ‘saudara sesama Urang Sunda maupun seluruh manusia’. Ia tahu dan sangat paham bahwa dari keturunan Sunda ini akan lahir sosok yang mampu memberikan solusi bagi berbagai kemelut yang dilanda bangsa Indonesia dan seluruh nusantara. Sosok ini secara spiritual dengan mengikuti jejak para leluhur, sangat diakui eksistensinya oleh para spiritualis Sunda dan Jawa. Oleh sebab itu, Prabu Siliwangi memberikan berbagai pesan, gambaran, dan petunjuk agar sosok tersebut dan seluruh rakyat Sunda dapat lebih arif dan selalu siap sedia berbuat yang terbaik pada masa-masa kegentingan yang pasti akan terjadi. Ia menginginkan seluruh rakyatnya bersatu tak ada pertentangan dalam mendukung sosok tersebut yang disebutnya Budak Angon, ‘Anak Gembala’.
Percaya atau tidak, suka atau tidak, atas izin Allah swt, semua yang telah digambarkan Prabu Siliwangi ratusan tahun silam itu akan benar-benar terjadi dan memang banyak yang sudah terjadi. Sesungguhnya, dari keseluruhan pesan dan petunjuk Prabu Siliwangi sebagian besar sudah terjadi dan kita semua yang hidup pada zaman ini telah mengalaminya hingga terasa sampai ke sumsum tulang. Justru, gambarannya yang masih akan terjadi tinggal sedikit lagi, yaitu puncak kegoncangan Indonesia yang hanya bisa diselesaikan oleh Budak Angon yang dalam Kitab Musarar Jayabaya, Jawa, dikenal dengan nama Tunjung Putih semune Pudak Kesungsang, ‘Raja Berhati Putih, namun masih tersembunyi (Satria Piningit)’. Sosok Budak Angon ini memiliki dua istana, yaitu: satu di Mekah dan satu lagi di tanah Jawa. Artinya, sosok itu adalah seorang muslim yang taat selalu berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah serta mencintai bangsa Indonesia, sebagai negeri tempatnya lahir, tumbuh mendapatkan berbagai pemahaman dari Allah swt.

Prabu Siliwangi berpesan kepada seluruh rakyatnya yang pasti memiliki keinginan berbeda-beda itu dengan sangat bijak. Ia tidak memaksa, tidak berbohong, dan tidak memfitnah. Ia mengarahkan rakyatnya untuk mengikuti keempat arah mata angin. Istimewanya, ia tidak meninggikan maupun merendahkan salah satu golongan dari rakyatnya yang memilih jalan berbeda-beda sesuai dengan arah mata angin tersebut. Prabu Siliwangi hanya memberikan gambaran apa yang akan terjadi kepada rakyatnya di setiap arah mata angin. Dengan demikian, rakyatnya akan memilih sesuai dengan keinginannya sendiri dan akan mengetahui harus melakukan apa dan akan menjadi apa pada masa selanjutnya.

Pesannya dalam bahasa Sunda.

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho. Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti Gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana, saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!

Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!

Dalam bahasa Indonesia.

Dengarkan! Kalian yang masih ingin mengikutiku, cepat pergi pisahkan diri ke sebelah Selatan! Kalian yang ingin kembali ke kota yang ditinggalkan, cepat pisahkan diri ke sebelah Utara!

Kalian yang ingin mengabdi kepada penguasa yang sedang jaya, segera pisahkan diri ke sebelah Timur! Kalian yang tidak ingin mengikuti siapa pun, segera pisahkan diri ke sebelah Barat!

Dengarkan! Kalian yang di sebelah Timur, harus tahu. Kejayaan mengikuti kalian. Iya benar sekali, keturunan kalian yang nantinya bakal memerintah saudara-saudara kita dan orang lain. Akan tetapi, harus tahu. Mereka akan memerintah dengan cara yang keterlaluan. Nanti akan tiba pembalasan atas segala perbuatan mereka. Cepat pergi!

Kalian yang berada di sebelah Barat! Telusuri oleh kalian jejak Ki Santang! Hal itu disebabkan nantinya keturunan kalian yang mengingatkan saudara-saudara kita dan orang lain. Keturunan kalian itu yang akan berupaya memberikan peringatan dan penyadaran kepada teman-teman sekampung, saudara-saudara kita yang berupaya untuk hidup rukun melangkah bersama sependirian, dan kepada semua orang yang baik hatinya. Nanti, suatu saat, kalau di tengah malam dari Gunung Halimun terdengar teriakan meminta tolong, nah itulah tandanya, seluruh keturunan kalian dipanggil oleh dia yang akan menikah di Lebak Cawene. Jangan telat serta jangan bersikap dan berperilaku berlebihan sebab telaga akan meluap menimbulkan banjir. Cepat pergi! Jangan menengok ke belakang!

Kalian yang berpisah ke sebelah Utara, dengarkan semuanya! Kota tidak akan pernah kalian temukan. Yang ditemukan hanya tegalan yang harus diolah. Keturunan kalian kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Kalaupun ada yang memiliki pangkat, tetap tidak memiliki kekuasaan. Mereka nanti, suatu waktu, akan tergeser oleh orang lain. Banyak orang datang dari tempat-tempat yang jauh, tetapi orang-orang yang menyusahkan kalian. Waspadalah!

Demikianlah, sebagian pesannya dalam Uga Wangsit Siliwangi. Keberadaan seluruh keturunan Pajajaran yang ada dan hidup saat ini tersebar ke seluruh mata angin merupakan hasil dari pilihan para leluhur Pajajaran waktu itu. Dengan demikian, sebenarnya kita sedang menjalani takdir Allah swt yang telah digambarkan oleh Sang Prabu. Kalaulah terjadi kegoncangan dan kegelisahan jiwa dalam menghadapi berbagai masalah, salah satunya adalah karena kita tidak menjaga dan menghormati wasiat-wasiat leluhur kita itu, bahkan menganggapnya sebagai produk kuno, kolot, terbelakang, dan tidak ilmiah. Sesungguhnya, bila dikaji lebih dalam, kita akan menemukan bahwa wasiat-wasiat itu bernilai ilmiah yang sangat tinggi. Permasalahannya adalah kita sebenarnya yang telah salah langkah terlalu jauh dengan memberikan penilaian yang terlalu tinggi terhadap hal-hal yang bersifat materi dan duniawi. Padahal, semua yang sifatnya materi membuat kita hidup dalam kegelisahan, kemarahan, dan kekalutan jika tidak dikendalikan dengan berbagai hal yang bersifat ruhani.

Adalah sangat bijak dan menguntungkan jika kita mau bersandar pada wasiat leluhur sambil tetap memegang teguh budi pekerti, nilai, dan norma yang telah dilekatkan Allah swt sejak dalam kandungan. Tak perlu mengubahnya dengan pola dan pemikiran bangsa lain jika tidak menambah nilai positif bagi kita dan jika tidak perlu-perlu amat.

Pesan-pesan Prabu Siliwangi menunjukkan kecintaannya kepada negeri dan rakyatnya. Sudah seharusnya kita pun mencintainya karena sesungguhnya jika kita mencintainya sama dengan mencintai diri kita sendiri.

Gus Dur dalam Uga Wangsit Siliwangi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon
Gus Dur atau lebih tepatnya K.H. Abdurrahman Wahid, telah digambarkan oleh Prabu Siliwangi berabad lalu akan menjadi Presiden RI ke-4. Gambaran itu memang benar-benar terjadi.

Begini Sang Prabu menggambarkannya dalam bahasa Sunda.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu.

Dalam bahasa Indonesia.

Terus, berdiri lagi raja, tetapi raja buta yang membangun gerbang yang tidak boleh dibuka, membangun pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran di tengah jalan, memelihara elang di pohon beringin karena memang raja buta! Bukan buta pemaksa jahat yang sewenang-wenang, tetapi buta tidak dapat melihat, buta matanya.

Ciri yang paling utama dari Presiden RI ke-4 Gus Dur adalah soal mata, penglihatan. Ia memiliki mata yang tidak dapat melihat dengan baik. Dalam kata lain, dia itu buta matanya. Jadi, jelas yang dimaksud Prabu Siliwangi sebagai raja buta itu bukan buta atau raksasa yang jahat, melainkan buta matanya.

Paragraf tersebut menggambarkan pula kepemimpinan Gus Dur selama menjadi presiden. Gus Dur nangtungkeun panto teu benang ditutup, ‘membangun pintu yang tidak boleh ditutup’. Dalam pemahaman saya, Gus Dur itu membangun sistem komunikasi yang lebih bebas dibandingkan Soeharto. Ia memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyampaikan gagasannya dan itu tidak boleh dihalang-halangi. Ia tidak antikritik dan tidak antidemonstrasi. Ia sangat tidak setuju jika menutup pintu bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat atau keinginan-keinginannya.

Di samping itu, ia nyieun pancuran di tengah jalan, ‘membuat pancuran di tengah jalan’. Bisa disaksikan bersama bahwa dalam kepemimpinannya, ia membebaskan sangat banyak orang yang menderita fitnah akibat kekejian G-30-S berikut peristiwa yang mengikutinya kemudian. Para aktivis, pengikut, dan simpatisan PKI dibebaskannya untuk kemudian direhabilitasi namanya sehingga memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan warga Negara Indonesia lainnya. Para korban fitnah itu telah lama menderita, terasingkan tanpa mengetahui kesalahannya karena memang tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Jumlahnya teramat banyak. Mereka itu bagaikan kehausan. Haus kebebasan, haus cinta, haus penghormatan, dan haus pengakuan dari sesama warga Negara Indonesia. Mereka sangat haus bagaikan berada di tengah jalan dalam keadaan terik Matahari. Gus Dur membuatnya pancuran air untuk menghilangkan dahaga mereka. Di samping itu, Gus Dur menempatkan ABRI (sekarang TNI) pada porsinya, yaitu berada di barak, tidak lagi ikut-ikutan politik. Hal itu merupakan air pancuran bagi siapa pun yang pernah merasa takut terhadap TNI yang sebelumnya sering petantang-petenteng. Hal itu pun sekaligus menjadi air pancuran bagi TNI sendiri karena dengan kembali ke barak, lepas dari politik, TNI akan menjadi lebih profesional dan lebih berkonsentrasi pada tugasnya yang utama, yaitu sebagai alat ketahanan dan pertahanan negara. Tambahan pula, yang tidak boleh dilupakan adalah Gus Dur melikuidasi Departemen Penerangan RI. Hal itu menjadi air pancuran yang melepaskan dahaga bagi insan pers sehingga dapat berekspresi lebih leluasa dan masyarakat pun dapat menikmati berbagai macam berita yang dulunya dianggap sangat tabu karena berbenturan dengan kepentingan kekuasaan.

Meskipun demikian, ia miara heulang dina caringin, ‘memelihara elang di pohon beringin’ yang bisa berarti melakukan sesuatu yang kurang tepat. Burung elang itu habitatnya bukan di pohon beringin. Burung elang itu hidup di puncak-puncak gunung berbatu dan tebing-tebing tinggi batu keras yang ditiup kerasnya angin. Di sanalah burung elang bertelur, tumbuh, dewasa, dan menjalani kehidupannya. Kalaupun burung itu terbang ke pohon-pohon atau padang-padang rumput, itu hanyalah untuk mencari makanan. Artinya, apa yang dilakukan Gus Dur sepertinya tepat karena bukankah elang suka berada di pohon? Akan tetapi, sebenarnya kurang tepat karena habitat aslinya bukan di sana.

Kekurangtepatan Gus Dur dapat dilihat dari bagaimana dia menggunakan hak preogratifnya dalam membentuk kabinet, mengangkat menteri, maupun melakukan reshufle. Ia memiliki keyakinan penuh bahwa dirinya melakukan hal yang terbaik. Oleh sebab itu, ia sangat gusar ketika ada orang atau pihak yang mencoba berbeda pandangan dengannya. Itulah yang saya maksud dengan ngadegkeun lawang teu benang dibuka, ‘membangun gerbang yang tidak boleh dibuka’. Artinya, di dalam alam reformasi yang penuh kebebasan ini mestinya gerbang kritik dan komentar soal hak-hak istimewanya, termasuk Brunai Gate dibuka, tetapi Gus Dur menutupnya, tidak boleh dibuka. Ia sangat yakin dengan langkahnya.

Karena memelihara elang di pohon beringin dan membangun gerbang yang tidak boleh dibuka inilah, Gus Dur akhirnya digulung MPR RI yang menggunakan senjata Memorandum I, Memorandum II, dan Memorandum III yang ujung-ujungnya Sidang Istimewa. Jatuhlah ia di tengah jalan.

Soekarno dan Soeharto dalam Uga Wangsit Siliwangi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon

Jauh sebelum negeri ini merdeka, bahkan sebelum penjajahan terjadi secara merata di Indonesia, ketika negeri ini masih dikuasai para raja yang menurut para pedagang Arab saat itu sebagai jaziratul muluk, ‘tanah yang banyak rajanya’, Prabu Siliwangi telah mengisyaratkan bahwa negeri ini akan dipimpin oleh Soekarno yang kemudian diganti oleh Soeharto. Memang Sang Prabu tidak pernah menyebutkan namanya secara persis. Ia hanya menggambarkan ciri-cirinya. Bahkan, ciri-cirinya pun tidak tersurat secara jelas, tetapi memberikan ruang untuk ditelusuri rahasia yang tersirat dari uganya.

Dalam bahasa Sunda.

Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.

Dalam bahasa Indonesia.

Lalu, berdirilah seorang raja, asalnya orang biasa. Akan tetapi, memang titisan raja zaman dulu dan ibunya seorang puteri Pulau Dewata. Karena jelas titisan raja, raja baru itu susah untuk dianiaya! Selepas itu, ganti lagi zaman. Ganti zaman, ganti kisah! Kapan? Tidak lama setelah tampak bulan di siang hari yang disusul melintasnya bintang terang bercahaya. Di bekas negara kita, berdiri lagi kerajaan. Kerajaan di dalam kerajaan dan rajanya bukan trah Pajajaran.

Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno lahir di Lawang Seketeng, Surabaya, 6 Juni 1901. Ayahnya seorang guru dengan gaji 27,5 gulden setiap bulan. Namanya Soekemi Sosrodihardjo. Ayahnya berasal dari Blitar. Selaku pegawai gubernemen, Soekemi pernah dimutasikan ke Bali. Di Bali Soekemi bertemu dengan seorang dara manis berdarah ningrat kasta Brahmana yang bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Dua insan berbeda agama ini terkait jalinan asmara. Tak lama kemudian, mereka menikah. Soekemi adalah Islam Abangan, sedangkan Ida Ayu Hindu Dharma. Hasil pernikahan mereka melahirkan Soekarmini dan Koesno Sosro Karno (nama kecil Bung Karno).

Sebenarnya, pernikahan mereka termasuk kontroversial. Artinya, Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai telah merobek adat yang berlaku. Pasalnya, Sang Laki-laki hanyalah seorang guru biasa, sedangkan Ida Ayu adalah ningrat yang sangat kuat terkungkung adat. Tampaknya, Allah swt menurunkan takdir yang sangat kuat untuk mempersatukan mereka.

Besar kemungkinan hal ini pula yang telah mendorong Soekarno ketika dewasa melakukan pengembaraan batin menuju Allah swt.

Jelas bukan, Soekarno adalah keturunan puteri dari Pulau Dewata, Pulau Bali, sebagaimana yang disebutkan Prabu Siliwangi ratusan tahun silam?

Oh ya, soal raja anyar hese apes ku rogahala, ‘raja baru itu susah dianiaya’, itu bisa dilihat dari berbagai buku sejarah maupun buku-buku biografi Soekarno, termasuk buku yang saya susun, yaitu Presiden RI dari Masa ke Masa. Soekarno sejak muda kerap mendapatkan banyak tantangan dan perlakuan buruk. Apalagi setelah mulai manggung di pentas perpolitikan nasional, ia sempat dilempari granat yang terkenal dengan nama peristiwa Cikini, pernah pula ditembaki dari pesawat tempur, belum lagi berulang kali masuk penjara dan pembuangan ke Ende, Flores.

Semuanya itu dialaminya, tetapi semangat perjuangan dan kegigihan kemerdekaan membuatnya dapat melewati semuanya dengan selamat dan muncul sebagai pemenang. Itulah yang telah digambarkan Prabu Siliwangi tentang raja yang susah jatuh oleh penganiayaan.

Selepas Soekarno yang berkuasa hanya sebentar itu, Soeharto datang menggantikannya. Prabu Siliwangi melukiskannya dengan adanya kerajaan di dalam kerajaan. Maksudnya, sesungguhnya Soeharto itu sudah mendirikan kerajaan dan menjadi rajanya sekaligus sejak Soekarno sakit parah.

Soekarno memang pernah sakit parah sehingga harus mendatangkan dokter dari Cina, Peking. Saat Soekarno sakit itu Amerika Serikat beserta negara-negara sekutu kapitalisnya ketar-ketir, was-was, takut setengah mati. Mereka sangat takut jika Partai Komunis Indonesia akan memimpin Indonesia pasca-Soekarno. Ketakutan mereka sangat beralasan karena PKI adalah partai komunis terbesar di dunia dan nomor empat pemenang Pemilu di Indonesia. Oleh sebab itu, AS menyusun strategi dan skenario untuk memenangkan persaingan. Memang saat itu sudah terjadi persaingan sengit antara kapitalis dan komunis di seluruh dunia yang merembes ke dalam negeri.

Pada mulanya AS akan menggunakan Jenderal Ahmad Yani dan atau Jenderal A.H. Nasution. AS secara intens mendekati keduanya. Akan tetapi, kedua jenderal itu menolak mengikuti skenario AS dengan tegas dengan alasan keduanya sangat setia pada Pancasila dan Bung Karno. Soekarno memang sangat anti-AS, antikapitalis sekaligus pembendung komunis yang gigih. Saat Soekarno berkuasa, baik kapitalis maupun komunis tidak bisa leluasa meluaskan pengaruhnya secara bebas di Indonesia. Soekarno memagarinya dengan doktrin Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom). Komunis dipaksa Soekarno harus mampu menyesuaikan diri dengan budaya dan nafas bangsa. Adapun kapitalis memang dipandang sebagai sumber kolonialisme-imperialisme. Jadi, selama kepemimpinan Soekarno, kapitalis dan komunis hanya dalam keadaan saling bisu sambil menaruh dendam.

Karena kedua jenderal sohor itu menolak, AS mencari sosok lain. Akhirnya, pilihan jatuh kepada seorang jenderal yang menurut CIA tidak terkenal, bermasalah, tetapi lumayan cerdas. Sosok itu adalah Soeharto.

Sejak saat itu, Soeharto mulai mengembangkan kerajaaannya yang setiap hari semakin kuat. Sementara itu, Soekarno meskipun sudah sembuh dari sakit, kekuasaannya semakin hari semakin menurun yang memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September. Sejak G-30-S itu, sesungguhnya Soeharto telah mengendalikan kerajaannya di dalam kerajaan Soekarno. Bahkan, kerajaan Soeharto lebih kuat dibandingkan kerajaan Soekarno. Kerajaan Soekarno hanya berputar pada masalah politis yang kerap hambar di tingkat teknis pelaksanaan, sedangkan Soeharto memiliki banyak pasukan militer dan politisi yang bisa segera digerakkan. Apalagi setelah Supersemar yang kontroversial itu, kerajaan Soekarno semakin lemah, sementara kerajaan Soeharto semakin mendekati bentuk aslinya. Itulah yang dimaksud kerajaan di dalam kerajaan.

Ada satu pernyataan yang menggelitik dalam Uga Wangsit Siliwangi, yaitu pernyataan rajana lain teureuh Pajajaran, ‘rajanya bukan trah Pajajaran’.
Mengapa harus ada kalimat seperti itu?

Soekarno pun bukan trah Pajajaran, tetapi tidak disebut bukan trah Pajajaran.

Saya jadi kasihan sama Soeharto. Akan tetapi, ya mau bagaimana lagi? Bukankah setiap orang akan menuai hasil perilakunya sendiri?

Pernyataan Prabu Siliwangi tentang Soeharto yang bukan trah Pajajaran itu seolah-olah ingin menegaskan bahwa Soeharto itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Pajajaran, apalagi dengan dirinya. Kalaulah Prabu Siliwangi berhati kasar, mungkin pernyataannya bukan halus seperti itu, mungkin akan seperti ini, teuing teu nyaho raja eta mah, euweuh pakuat pakait jeung Ngaing, ‘tidak tahu ah raja yang itu mah, nggak ada hubungannya dengan saya’. Sang Prabu seakan-akan menolak dirinya dan Pajajaran untuk dihubung-hubungkan dengan Soeharto.

Prabu Siliwangi itu bertutur halus, menyembunyikan perasaan, tetapi membuka ruang untuk dianalisa. Berbeda dengan syair-syair dari Jawa yang cenderung lebih lugas dan lebih terbuka, padahal Soeharto itu jelas-jelas Jawa.

Dalam Kitab Musarar Jayabaya yang Jawa itu dengan tegas dikatakan Soeharto sebagai Gajah Meta Semune Tengu Lelaki, artinya raja yang ditakuti rakyat, tetapi hidupnya nista, hina. Demikian pula R. Ng. Ronggowarsito yang mengatakan bahwa Soeharto itu adalah Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar yang artinya pemimpin yang berharta dunia dan ditakuti, tetapi selalu dikaitkan dengan keburukan dan selalu dalam keadaan dipersalahkan, serba buruk.

Sedikit lebih lengkap, Soeharto menurut Jayabaya berikut ini. Gajah meta Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari.” Artinya, gajah meta semune tengu lelaki, enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
Jadi kasihan juga ya. Sekarang dimulai lagi keadaan nista buat Soeharto yang dilakukan oleh para pencintanya. Mereka mengusulkan agar Soeharto menjadi pahlawan. Duh, sesungguhnya, usulan itu hanya akan membuat Soeharto tampak lebih buruk dan jahat. Soalnya, orang-orang yang pernah tersakiti, teraniaya, terbungkam, dan lawan-lawan politiknya meminta kasus-kasus yang sampai saat ini masih misterius dibuka secara jelas dan dituntaskan segera, misalnya, kasus KKN, kroniisme, penghilangan para aktivis, pembunuhan-pembunuhan, kerusuhan, keterkaitannya dengan peristiwa G-30-S yang diduga keras saat ini bahwa Soeharto-lah dalang dari semuanya sebagai kaki tangan CIA, dan lain sebagainya.

Kalau menurut saya mah, sudah hentikan wacana Soeharto menjadi pahlawan. Hal itu hanya akan membuat dia tampak lebih nista dan hina. Kasihan. Sebaiknya, para penggemar beratnya itu kalau memang mencintai Soeharto, doakan saja dan terus doakan agar dosa-dosanya diampuni dan diringankan bebannya di “alam sono”. Soalnya, dia itu sedang menanti doa-doa karena sudah tidak punya kesempatan lagi untuk berbuat baik dan mengurangi dosanya. Hanya doa yang akan membuatnya lebih ringan di “sono”. Dia nggak perlu gelar pahlawan itu kok. Dia saat ini sedang “sibuk sekali” dengan urusannya di alam “sono”.

Belanda Kabur Berganti Jepang Merusakkan Negeri

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon
Prabu Siliwangi memiliki kemampuan luar biasa dalam nganjang ka mangsa datang, ‘melihat masa depan’. Meskipun telah ngahiang, ‘bersatu menuju Tuhan’ ratusan tahun sebelumnya, Sang Prabu dapat memberikan gambaran masa depan kepada pengikutnya mengenai terjadinya pergantian penjajahan dari Belanda pada Jepang.

Dalam bahasa Sunda.

Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk. Laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup dibuburak ku nu ngaranteur pamuka jalan, tapi jalan nu pasingsal!

Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur. Laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. Ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.

Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. Nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.

Dalam bahasa Indonesia.

Selepas itu, pemerintahan dikuasai monyet. Kemudian, keturunan kita ada yang sadar, tetapi sadarnya mirip orang yang baru bangun dari mimpi. Hal-hal yang sejak dulu hilang tenggelam dalam sejarah, banyak yang menemukannya. Akan tetapi, banyak yang tertukar sejarahnya. Ada penemuan yang digunakan, tetapi sebetulnya tidak perlu digunakan. Bahkan, ada yang dicuri dan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak paham dan tidak peduli bahwa zaman sudah berganti kisah! Kemudian, geger senegara. Pintu yang tertutup didobrak oleh para pembuka jalan, tetapi jalan yang kurang tepat.

Yang memerintah bersembunyi jauh sekali, alun-alun jadi kosong, kerbau bule pada kabur. Lalu, negara yang terpecah-pecah itu dikuasai dan dirusakkan monyet! Keturunan kita enak-enak tertawa, tetapi tertawa yang tertahan, tidak tuntas, karena ternyata warung habis dirusak monyet, sawah habis dikuasai monyet, lumbung padi habis dimakan monyet, kebun dilalap monyet, perempuan-perempuan hamil oleh monyet. Segala-gala dikuasai monyet. Keturunan kita takut oleh mereka yang bergaya seperti monyet. Undang-undang dan hukum dipegang monyet sambil mengendalikan para pemuda. Keturunan kita tetap menjadi orang-orang suruhan dan kuli. Banyak yang mati kelaparan. Mulai saat itu keturunan kita mengharapkan panen jagung sambil mencoba-coba bertani tanpa ilmu pengetahuan dalam mengolah lahan. Tidak paham dan tidak peduli bahwa zaman sudah berganti lagi kisah.

Kemudian, sayup-sayup, namun jelas beritanya, dari ujung laut Utara terdengar guruh yang bergemuruh, burung garuda menetaskan telur. Geger seluruh dunia! Lalu, apa yang terjadi di negeri kita?Ramai oleh yang sedang berperang. Perang seluruhnya sampai ke pelosok-pelosok. Monyet mengumpul berjatuhan. Keturunan kita mengamuk sejadi-jadinya, mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tak berdosa. Sudah jelas musuh, malah dijadikan teman. Jelas-jelas teman disebut musuh. Mendadak banyak yang menjadi pemimpin yang memerintah dengan cara-cara edan. Mereka yang kebingungan tambah bingung, anak-anak yang belum dewasa sudah menjadi bapak. Mereka yang mengamuk semakin kalap, mengamuk tanpa pilih bulu. Mereka yang putih dikejar dan dihancurkan, yang hitam diusir. Daratan kita benar-benar panas dan kacau disebabkan mereka yang sedang mengamuk, tidak beda dengan tawon yang dilempari tepat mengenai sarangnya. Seluruh daratan dibuat tempat penjagalan. Akan tetapi, segera ada yang menghentikan. Mereka yang menghentikannya adalah orang seberang.

Agar lebih jelas, kita rinci lagi dalam setiap paragraf.

Sunda.

Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk. Laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup dibuburak ku nu ngaranteur pamuka jalan, tapi jalan nu pasingsal!

Indonesia.

Selepas itu, pemerintahan dikuasai monyet. Kemudian, keturunan kita ada yang sadar, tetapi sadarnya mirip orang yang baru bangun dari mimpi. Hal-hal yang sejak dulu hilang tenggelam dalam sejarah, banyak yang menemukannya. Akan tetapi, banyak yang tertukar sejarahnya. Ada penemuan yang digunakan, tetapi sebetulnya tidak perlu digunakan. Bahkan, ada yang dicuri dan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak paham dan tidak peduli bahwa zaman sudah berganti kisah! Kemudian, geger senegara. Pintu yang tertutup didobrak oleh para pembuka jalan, tetapi jalan yang kurang tepat.

Prabu Siliwangi mengistilahkan pasukan Jepang dengan monyet. Monyet itu punya sifat serakah, tidak cukup hanya makan kenyang, kerap menyimpan makanannya sampai mulutnya penuh sekali sehingga pipinya tampak menonjol.

Jepang datang dengan tipuan sebagai “saudara tua”, padahal menjajah dengan lebih kejam. Kemudian, banyak orang Sunda yang sadar bahwa dirinya sedang dijajah Jepang. Akan tetapi, mereka masih kebingungan. Dalam pada itu, banyak sejarah mengenai Kerajaan Pajajaran ditemukan kembali yang asalnya telah banyak yang hilang. Akan tetapi, data-data tersebut kurang lengkap dan tidak sesuai kronologisnya, bahkan tertukar peristiwanya. Adapula peninggalan sejarah yang hilang dan dijual oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Meskipun demikian, sebagian besar sebenarnya rakyat Sunda tidak menyadari situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Mereka tidak menyadari keadaan zamannya. Hanya sebagian kecil yang sadar.

Kesadaran sebagian kecil orang Sunda terhadap situasi dan kondisi yang terjadi bersinergi dengan perjuangan secara nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan. Terjadilah, berbagai perlawanan yang melibatkan banyak orang senegara. Mereka berjuang mendobrak pintu penjajahan.

Penjajahan Belanda pun berakhir berbarengan dengan masuknya penjajahan baru, Jepang. Inilah yang disebut Prabu Siliwangi sebagai jalan nu pasingsal, ‘jalan yang kurang tepat’. Hal itu disebabkan adanya negosiasi dengan pasukan Jepang, sedangkan Jepang sendiri sebenarnya tidak menginginkan Indonesia merdeka, tetapi berupaya menjadikan Indonesia sebagai jajahan untuk mendukung perang-perang Jepang di tingkat dunia. Oleh sebab itu, banyak pemuda kita yang diberi pelatihan militer, kemudian dikirim untuk berperang. Di samping itu, tentunya berlaku pula kerja paksa yang hasilnya untuk kepentingan Jepang.

Pada masa Jepang masuk ke Indonesia, terjadi pertempuran dengan Belanda. Jepang memang sudah mulai mengendalikan keadaan. Hal tersebut sebagaimana yang dilukiskan Prabu Siliwangi.

Sunda.

Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur. Laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. Ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.

Indonesia.

Yang memerintah bersembunyi jauh sekali, alun-alun jadi kosong, kerbau bule pada kabur. Lalu, negara yang terpecah-pecah itu dikuasai dan dirusakkan monyet! Keturunan kita enak-enak tertawa, tetapi tertawa yang tertahan, tidak tuntas, karena ternyata warung habis dirusak monyet, sawah habis dikuasai monyet, lumbung padi habis dimakan monyet, kebun dilalap monyet, perempuan-perempuan hamil oleh monyet. Segala-gala dikuasai monyet. Keturunan kita takut oleh mereka yang bergaya seperti monyet. Undang-undang dan hukum dipegang monyet sambil mengendalikan para pemuda. Keturunan kita tetap menjadi orang-orang suruhan dan kuli. Banyak yang mati kelaparan. Mulai saat itu keturunan kita mengharapkan panen jagung sambil mencoba-coba bertani tanpa ilmu pengetahuan dalam mengolah lahan. Tidak paham dan tidak peduli bahwa zaman sudah berganti lagi kisah.

Sang Prabu melukiskan bahwa Jepang mengendalikan pertempuran dan pemerintahan dari tempat yang tersembunyi jauh. Terbukti, Jepang menggunakan goa-goa di gunung dan perbukitan sebagai tempat pertahanan pasukan. Bahkan, ada goa-goa yang dibuat Jepang sendiri. Sampai saat ini, goa-goa itu masih ada yang dikenal dengan sebutan Goa Jepang. Goa-goa ini tersebar di berbagai wilayah di tanah Sunda.

Karena kekuatan Jepang yang sangat hebat, Belanda pun meninggalkan pusat pemerintahannya yang dulu terkonsentrasi di seputar alun-alun. Akhirnya, Belanda kalah, alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur, ‘alun-alun jadi kosong, kerbau bule pada kabur’.

Kekalahan Belanda dan kemenangan Jepang disambut oleh rakyat kita. Rakyat kita tertawa senang, tetapi tertawanya tidak tuntas karena ternyata Jepang menjajah dengan lebih kejam.

Keturunan kita enak-enak tertawa, tetapi tertawa yang tertahan, tidak tuntas, karena ternyata warung habis dirusak monyet, sawah habis dikuasai monyet, lumbung padi habis dimakan monyet, kebun dilalap monyet, perempuan-perempuan hamil oleh monyet. Segala-gala dikuasai monyet. Keturunan kita takut oleh mereka yang bergaya seperti monyet.

Pemerintahan yang dikuasai oleh Jepang secara kejam itu membuat rakyat hancur, baik sosial maupun ekonomi. Kelaparan melanda di mana-mana. Rakyat pun mengharapkan bisa menanam dan panen jagung untuk dimakan meskipun tidak memahami tentang pertanian.

Dalam keadaan tersebut, sebagian besar rakyat Sunda masih belum sadar tentang kondisi dirinya sendiri yang sedang dijajah. Mereka tidak memahami situasi dan kondisi yang sedang terjadi.

Pada masa penjajahan Jepang, para pejuang terus berjuang. Penjajahan Jepang pun mulai goyah karena dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Jatuhnya bom atom itu diketahui para pejuang kita. Hal tersebut digambarkan Prabu Siliwangi berikut ini.

Sunda.

Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat!

Indonesia.

Kemudian, sayup-sayup, namun jelas beritanya, dari ujung laut Utara terdengar guruh yang bergemuruh, burung garuda menetaskan telur. Geger seluruh dunia!

Sang Prabu meneruskannya.

Sunda.

Ari di urang? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.

Indonesia.

Lalu, apa yang terjadi di negeri kita?Ramai oleh yang sedang berperang. Perang seluruhnya sampai ke pelosok-pelosok. Monyet mengumpul berjatuhan. Keturunan kita mengamuk sejadi-jadinya, mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tak berdosa. Sudah jelas musuh, malah dijadikan teman. Jelas-jelas teman disebut musuh. Mendadak banyak yang menjadi pemimpin yang memerintah dengan cara-cara edan. Mereka yang kebingungan tambah bingung, anak-anak yang belum dewasa sudah menjadi bapak. Mereka yang mengamuk semakin kalap, mengamuk tanpa pilih bulu. Mereka yang putih dikejar dan dihancurkan, yang hitam diusir. Daratan kita benar-benar panas dan kacau disebabkan mereka yang sedang mengamuk, tidak beda dengan tawon yang dilempari tepat mengenai sarangnya. Seluruh daratan dibuat tempat penjagalan. Akan tetapi, segera ada yang menghentikan. Mereka yang menghentikannya adalah orang seberang.

Sang Prabu menggambarkan bahwa ketika Jepang dijatuhi bom atom, di Indonesia sedang terjadi perang. Perang yang benar-benar berkecamuk. Para pemuda Indonesia yang telah mengetahui kekalahan Jepang oleh sekutu memanfaatkan momen itu untuk menghancurkan penjajahan Jepang. Markas-markas Jepang diserang. Pertempuran pun terjadi. Pasukan Jepang pun kalah ketika bertahan di markas-markasnya sendiri. Itulah yang dimaksud Prabu Siliwangi dengan monyét ngumpul ting rumpuyuk, ‘monyet mengumpul berjatuhan’. Memang, tentara jepang itu menyerah untuk kemudian dilucuti senjatanya oleh para pemuda kita di dalam markas-markasnya.

Dalam keadaan perang tersebut, banyak peristiwa yang mewarnainya. Kekacauan, perkelahian, pembunuhan, pengkhianatan, menjamurnya gerombolan-gerombolan bersenjata, dan hal-hal lain menggoncangkan seisi negeri. Banyaknya kelompok yang bersenjata menimbulkan efek lain dari kehidupan sosial secara keseluruhan, ketertiban pun tidak berjalan dengan baik. Namanya juga perang.

Akan tetapi, keadaan itu tidak berlangsung lama karena setelah dijatuhi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pun sejatinya kalah perang oleh sekutu. Kekalahan perang itu berakibat pula pada situasi penjajahan di negeri kita. Kekuasaan Jepang berangsur-angsur menurun yang kemudian berakhir dengan Proklamasi Kemerdekaan RI.

Berhentinya kekejaman Jepang di Bumi Pertiwi ini akibat kekalahannya oleh sekutu digambarkan oleh Prabu Siliwangi dengan kalimat kaburu aya nu nyapih, nu nyapihna urang sabrang, ‘segera ada yang menghentikan, mereka yang menghentikannya adalah orang seberang’. Orang seberang yang dimaksud adalah sekutu yang dipimpin Amerika Serikat.

Demikianlah apa yang digambarkan dan diberitakan Prabu Siliwangi ratusan tahun silam kepada rakyatnya mengenai masa depan Indonesia. Ternyata, gambaran itu itu terbukti benar setelah dicocokkan dengan sejarah resmi yang disusun oleh pemerintah Indonesia saat ini.

Kedatangan Belanda dalam Uga Wangsit Siliwangi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon

Jauh sebelum Belanda mencengkeramkan kukunya di tanah air, Prabu Siliwangi telah mengingatkan kita semua dalam uganya. Berikut paragraf yang mengisahkan hal tersebut.

Dalam bahasa Sunda.

Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa sabab murah jaman seubeuh hakan.

Dalam bahasa Indonesia.

Dengarkan! Mereka yang sekarang memusuhi kita akan menjadi raja hanya dalam waktu yang sebentar. Waktunya hanya sampai pada masa tanah kering. Padahal, tanah itu terletak di pinggir Sungai Cibantaeun. Tanah itu kemudian dijadikan kandang kerbau kosong. Nah, sejak saat itu seluruh negara akan terpecah-pecah. Dipecahkan dan dijajah kerbau-kerbau bule yang dipimpin oleh orang tinggi yang memerintah di alun-alun. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule mengendalikan generasi muda dan pewaris kekuasaan, keturunan kita menjadi kuli, orang suruhan, namun tidak terasa karena semuanya serba ada, murah, banyak pilihan, dan bisa makan sampai kenyang.

Setelah meninggalkan kekuasaannya, Prabu Siliwangi mundur dari pentas kekuasaan. Sebelum ngahiang, ‘pergi menuju Tuhan’, Prabu Siliwangi memberikan pesan dan berbagai informasi berkaitan dengan peristiwa-peristiwa masa depan. Ia menjelaskan bahwa kekuatan yang telah menghancurkan Kerajaan Pajajaran hanya berlangsung sebentar, tidak lama. Hal itu disebabkan datang kekuatan baru, yaitu penjajah berkulit putih yang datang silih berganti. Penjajah berkulit putih itu dalam uganya disebut dengan kebo bule, ‘kerbau bule’. Belanda adalah yang terlama berkuasa.

Kedatangan penjajah Belanda membuat kekuatan yang telah menyerang Pajajaran melemah dan akhirnya kalah. Belanda menguasai tanah-tanah yang dulunya merupakan wilayah Pajajaran dalam keadaan terpecah-pecah. Sejarah resmi kita pun yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi mengajarkan hal itu.

Raja-raja seluruhnya dibelenggu dalam arti di bawah kendali kolonial Belanda. Belanda mengendalikan semuanya dari pusat kota, alun-alun.

Para pemuda dan pewaris kerajaan dikuasai Belanda. Bahkan, Belanda dapat mengatur suksesi di antara para raja dan pewarisnya. Lebih dari itu, Belanda kerap melakukan politik devide et impera di dalam keluarga istana untuk kepentingan kolonialismenya sendiri.

Dalam keadaan itu, orang-orang Sunda menjadi kuli, orang suruhan. Meskipun demikian, rakyat Sunda tidak merasakannya sebagai penjajahan. Hal ini bisa dipahami dari catatan sejarah orang Sunda sendiri yang tidak begitu mementingkan kehidupan politik, bahkan sampai hari ini. Kehadiran penjajah berikut sepak terjangnya di dalam istana para raja, tidak menjadi perhatian yang sangat penting bagi orang Sunda. Hal itu disebabkan orang Sunda memiliki sifat someah hade ka semah, ‘harus berperilaku baik terhadap tamu’. Belanda dianggapnya sebagai tamu yang harus dihormati. Di samping itu, negosiasi-negosiasi yang dilakukan para penguasa Sunda dan Belanda tampaknya memang memberikan hasil yang membuat rakyat Sunda tidak begitu marah karena secara ekonomi bisa dikatakan tercukupi. Hal itulah yang disebutkan dalam Uga Wangsit Siliwangi.
Sunda:

Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa sabab murah jaman seubeuh hakan.

Indonesia:

Kerbau bule mengendalikan generasi muda dan pewaris kekuasaan, keturunan kita menjadi kuli, orang suruhan, namun tidak terasa karena semuanya serba ada, murah, banyak pilihan, dan bisa makan sampai kenyang.

Kondisi tercukupi menurut ukuran rakyat Sunda itu membuat rakyat Sunda tidak sadar bahwa dirinya sedang dijajah atau dikuasai orang lain. Akibatnya, orang Sunda tidak memiliki kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri. Mereka harus hidup dalam kontrol kolonial Belanda. Seterusnya, Belanda memanfaatkan kekayaan tanah Sunda untuk kepentingan negerinya sendiri.

Ngahiang

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon
Prabu Siliwangi adalah Raja Sunda yang sangat dihormati, baik pada masa kejayaannya maupun sampai hari ini meskipun telah berabad-abad lamanya. Bagi orang-orang Sunda, Prabu Siliwangi adalah masih rajanya yang terhebat dalam mengatur pemerintahan dan mengemong rakyat. Oleh sebab itu, sampai hari ini ajaran-ajarannya masih digunakan karena bersifat elastis menembus zaman, menembus teritori, serta menembus ras dan suku. Ajaran yang sampai saat ini terus dikejar untuk diwujudkan oleh semua orang, terutama orang Indonesia, adalah silih asih silih asah silih asuh, ‘saling mengasihi, saling membimbing, saling melindungi’. Saya yakin bahwa ajaran ini seperti dikatakan tadi, yaitu bukan hanya baik untuk orang Sunda dan berlaku pada waktu tertentu, melainkan menembus zaman, menembus teritori, serta menembus ras dan suku. Bahkan, kemampuannya dalam nganjang ka mangsa datang, ‘melihat masa depan’, telah membuktikan bahwa Prabu Siliwangi bukan hanya penguasa yang terampil dalam manajemen pemerintahan, melainkan sosok spiritualis yang disiplin dan ulet.

Pada akhir hidup Kerajaan Pajajaran yang dulu, Prabu Siliwangi memberikan wangsit yang lebih dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Wangsit itu berisi tentang pesan, petunjuk, dan berita-berita yang akan terjadi pada masa depan agar rakyatnya mampu memilih dan bersikap lebih bijak dalam mengarungi hidup selanjutnya. Sang Prabu tampaknya sangat ingin bahwa kehidupan rakyat di daerah-daerah yang dikuasainya meskipun dirinya telah mundur dari pentas kekuasaan, mampu mewujudkan namanya, yaitu “Siliwangi” yang berarti saling memberikan keharuman, saling mengharumkan, sehingga kehidupan dipenuhi wewangian sejati.

Setelah memberikan wangsit, Prabu Siliwangi pun ngahiang. Banyak orang mengartikan ngahiang ini sebagai pergi menghilang tanpa diketahui ke mana untuk menghindari kekuasaan penguasa yang baru. Adapun saya lebih sependapat dengan Kang Yoseph Iskandar (alm) yang mengatakan bahwa ngahiang itu adalah pergi menuju Tuhan. Ngahiang sendiri berasal dari suku kata nga dan hiang. Nga dalam bahasa Indonesia sama dengan imbuhan me- untuk kata kerja, sedangkan hiang merupakan perubahan pengucapan dari kata Hyang. Hyang memiliki arti dewa atau Tuhan. Jadi, Ngahiang itu sama dengan ngahyang, men-Tuhan, ‘pergi untuk bersatu bersama Tuhan’.

Meskipun sudah ngahiang, Prabu Siliwangi tetap akan bersama-sama dengan Urang Sunda dan Pajajaran dalam menempuh hidup pada masa-masa mendatang sampai batas waktu yang hanya diketahui oleh Allah swt. Tentunya, bersama-sama tidak dalam arti hidup bersama secara fisik, tetapi dengan cara lain. Hal itu sebagaimana yang disebutkannya sendiri dalam Uga Wangsit Siliwangi berikut ini.


Dalam bahasa Sunda.

Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir!

Dalam bahasa Indonesia.

Seluruh keturunan kalian akan aku kunjungi, tetapi hanya pada waktu yang diperlukan. Aku akan datang lagi menolong yang membutuhkan pertolongan, membantu yang kesusahan, tetapi hanya kepada mereka yang baik tingkah lakunya. Jika aku datang, tidak akan terlihat. Kalau aku berbicara, tidak akan terdengar. Memang aku akan datang. Akan tetapi, hanya kepada mereka yang baik hatinya, mereka yang memahami terhadap satu tujuan, mereka yang mengerti pada keharuman sejati, mereka yang memiliki empati tinggi dan tertata rapi pikirannya, serta yang baik tingkah lakunya. Kalau aku datang, tidak akan berupa dan tidak akan bersuara, tetapi memberi ciri dengan wewangian. Sejak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, kecuali nama untuk mereka yang menelusurinya. Hal itu disebabkan bukti yang ada akan diingkari banyak pihak!

Pernyataan yang ada dalam uga tersebut menegaskan bahwa Prabu Siliwangi akan berkeliling mengunjungi keturunan Sunda di mana pun berada, tetapi hanya mengunjungi orang-orang Sunda yang kriterianya ditentukannya sendiri, sebagaimana tertulis di atas. Ia akan datang tanpa rupa dan tanpa suara, tetapi akan memberi ciri dengan wewangian. Ia akan datang kepada mereka yang memiliki ilmu pengetahuan, berhati bersih, berjiwa baik, dan berperilaku benar. Itu bisa berarti yang akan datang dan terus mengalir adalah ilmunya, jiwanya, semangatnya, cita-citanya, perilakunya, serta ketajaman pikiran dan kemampuan manajemen pemerintahannya. Sang Prabu akan datang berkeliling kepada orang-orang yang memiliki gelombang energi yang sama dengannya. Kesamaan energi itu bisa ada pada orang-orang yang kriterianya sesuai seperti yang disebutkan dalam uganya sendiri. Jangan berharap bisa memahami wangsit-wangsit Siliwangi jika masih belum bisa menjadi orang baik-baik. Tidak perlu pula percaya kepada mereka yang mengaku-aku mendapatkan wangsit Siliwangi jika ternyata dalam catatan kehidupannya penuh dengan dusta, khianat, fitnah, kebencian, jahat, zalim, curang, dan berhati kaku.

Pernyataannya yang akan datang berkeliling mengunjungi keturunan rakyatnya adalah untuk memberikan bahan panduan bagi kita semua, sebagai warga bangsa Indonesia dan seluruh nusantara, untuk melangkah lebih baik menghadapi berbagai zaman sehingga mampu keluar dari kesulitan-kesulitan yang menghimpit, bahkan hidup dalam kemakmuran dan kejayaan.

Wallaahu alam.

Wednesday, October 27, 2010

Tak Ingin Menjadi Pemimpin yang Rakyatnya Sengsara

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon
Berikut ini adalah paragraf pertama dalam Uga Wangsit Siliwangi sebelum ngahiang, ‘bersatu bersama Tuhan’.

Dalam bahasa Sunda.
Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang, “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! Ngaing moal ngahalang-halang sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi raja anu somah sakabéhna, lapar baé, jeung balangsak.”

Dalam bahasa Indonesia.

Prabu Siliwangi berkata kepada warga Pajajaran yang ikut mundur sebelum menghilang, “Perjalanan kita hanya sampai hari ini meskipun kalian semua setia kepadaku! Aku tidak boleh membawa-bawa kalian pada masalah ini, ikut-ikutan hidup sengsara, ikut kumal sambil kelaparan. Kalian harus memilih untuk hidup selanjutnya supaya nanti bisa hidup makmur dan kaya raya, bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran seperti yang sekarang ini, melainkan Pajajaran yang berdirinya dibangkitkan oleh perkembangan zaman! Pilih! Aku tidak akan menghalang-halangi sebab bagiku, tidak pantas menjadi raja yang seluruh rakyatnya selalu lapar dan sengsara.”

Dalam paragaraf di atas, ada beberapa hal menarik yang dapat kita jadikan pelajaran agar lebih bijak dalam menjalani kehidupan ini. Pertama, Prabu Siliwangi adalah bukan sosok pemimpin yang egois. Ia tidak mementingkan dirinya sendiri dengan tetap memaksa rakyatnya untuk mengikutinya ke mana pun dalam kondisi apa pun. Ia tidak menipu rakyatnya dengan berbagai janji kemenangan dan kemakmuran yang akan didapatnya jika rakyatnya terus mengikuti dirinya. Padahal, sesungguhnya Prabu Siliwangi sangat mungkin dapat terus mengajak rakyatnya yang sangat setia itu untuk ikut bersamanya dengan membuka lahan baru untuk kemudian dikembangkan lagi menjadi kerajaan baru. Saat itu memang sangat memungkinkan untuk membentuk kerajaan baru karena penduduk Indonesia dan atau nusantara ini masih sangat sedikit di samping lahan-lahan kosong, rawa-rawa, hutan, dan gunung masih terbuka luas.

Berbeda dengan pemimpin-pemimpin yang hilir mudik saat ini. Banyak di antara mereka yang terus mempengaruhi pengikutnya dan rakyat untuk tetap setia kepadanya dengan menjual berbagai janji kosong dan impian kering yang dirinya sendiri tidak memiliki keyakinan untuk mewujudkannya. Mereka terus berbohong karena egois. Yang mereka pikirkan sebenarnya bukan pengikutnya atau rakyat, tetapi kepentingannya sendiri. Kalaulah ada di antara pengikutnya yang disejahterakannya, itu sebenarnya bukan untuk kepentingan pengikutnya sendiri, melainkan untuk melanggengkan kekuasaannya sendiri. Ketika Sang Pengikut itu sudah dianggap tidak lagi berguna, mereka akan beralih kepada orang lain yang dianggapnya lebih menguntungkan.

Kedua, Prabu Siliwangi adalah seorang nasionalis sejati. Karena tidak egois, ia lebih mementingkan kehidupan keseluruhan negaranya. Ia tidak memaksa rakyatnya untuk ikut terus bersamanya. Ia ingin rakyatnya dapat hidup sesuai dengan pilihannya sendiri agar pada masa depan dapat lagi mendirikan Pajajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman. Ia tidak ingin Pajajaran hancur luluh musnah tak berbekas hanya karena ingin terus dihormati dan disegani rakyatnya. Ia tidak ingin Pajajaran tidak bisa berdiri lagi hanya karena dirinya ingin selalu dilayani rakyatnya. Ia memilih pergi menghilang, mundur dari pentas ruang kehidupan, dan menyerahkan kelanjutan Pajajaran kepada rakyatnya.

Berbeda jauh dengan para pemimpin egois saat ini. Mereka terus mengumbar janji palsu dan menyebar uang recehan agar rakyat terus hidup bersamanya dan percaya kepadanya. Mereka mengelabui rakyat bersama tim suksesnya agar terus tampil baik meskipun sesungguhnya dirinya dipenuhi dengan lumpur keburukan yang setiap hari semakin kotor. Mereka sama sekali tidak terlalu mementingkan keseluruhan hidup negaranya. Meskipun mampu berceramah dan menulis tentang nasionalisme, pada kenyataannya mereka lebih mementingkan diri, keluarga, dan kelompoknya dibandingkan negaranya. Mereka berkoar-koar berjuang untuk rakyat, tetapi sebenarnya menguras tenaga dan keringat rakyat agar dirinya dapat terlayani kepentingan-kepentingannya. Mustahil mereka memilih pergi untuk hidup sengsara demi negaranya dan mempercayakan kekuasaannya kepada orang lain. Mereka lebih suka korupsi dibandingkan menyumbangkan potensi dirinya untuk rakyat. Kalau terjadi sesuatu yang buruk terhadap negeri ini, mereka lebih suka merapat kepada para penguasa ekonomi dibandingkan terus berjuang untuk kepentingan rakyat.

Ketiga, Prabu Siliwangi adalah seorang spiritualis yang mampu melihat masa depan. Salah satu penyebab mundurnya Prabu Siliwangi adalah pandangan batinnya sendiri yang memahami bahwa dirinya sudah bukan lagi masanya untuk memimpin, bahkan mengetahui zaman sudah berubah.

Dalam salah satu sumber, Sang Prabu mengatakan, “Ayeuna geus wayahna Agama Selam.”

Artinya, sekarang adalah sudah waktunya untuk Agama Islam. Agama Selam yang dimaksud adalah Agama Islam.

Ia paham betul keterbatasan dirinya sebagai manusia dan mengetahui dengan jelas bahwa Islam akan menjadi agama mayoritas di negeri ini. Oleh sebab itu, Pajajaran yang masih kental dengan kehinduannya itu sudah harus mundur untuk nanti berdiri lagi sesuai dengan situasi dan kondisi yang baru dalam masyarakat mayoritas muslim.

Berbeda dengan banyak pemimpin saat ini. Karena bukan spiritualis, mereka sama sekali tidak memahami situasi yang sedang dan akan terjadi, bahkan memahami diri sendirinya pun tidak. Hal itu disebabkan mereka dan kita semua kebanyakan tentunya, terlalu bangga dengan ketertipuan kita yang sering melecehkan berbagai hal yang bersifat spiritual. Kita lebih berbangga-bangga dengan hal-hal yang bersifat materi, bisa teraba dengan indera yang hanya lima itu. Akibatnya, kita dan para pemimpin itu kurang mampu menangkap hal-hal yang bersifat ruhani. Lebih jauhnya, kita menjadi terlalu pendek pikiran, cepat marah, tidak sabaran, dan sering tertipu oleh gosip-gosip murahan.

Karena tidak memahami dirinya sendiri, para pemimpin yang kuras awas batinnya itu sering menganggap dirinya selalu bisa untuk menduduki jabatan, padahal waktunya sudah habis atau memang tidak memiliki jatah takdir untuk menempati posisi yang diincarnya itu. Mereka terus-terusan pontang-panting, kasak-kusuk, banting ini banting itu, melelahkan dirinya sendiri dan menipu rakyat, padahal sama sekali bukan masanya untuk memimpin. Akibatnya, mereka sering kaget saat terjatuh tiba-tiba. Mereka tidak menyangka bakal terjatuh seperti itu sambil bersumpah serapah karena telah mengeluarkan biaya yang besar untuk mendapatkan posisinya itu dengan hasil yang mengecewakan. Rakyat pun jadi dibuat pusing dengan tontonan semcam itu.

Keempat, Prabu Siliwangi itu memiliki kecintaan yang tinggi kepada rakyatnya. Ia tidak memaksa rakyatnya untuk selalu mengikuti dirinya sendiri. Ia membebaskan rakyatnya untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk jika ingin ikut bersama dirinya. Ia ingin rakyatnya dapat mengecap kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Ia rela untuk ditinggalkan rakyatnya, kemudian pergi menghilang. Ia tak mengobral janji dan memenuhi impian rakyatnya dengan angan-angan kehidupan yang baru jika terus hidup bersama dirinya. Ia tak takut untuk sendiri karena hidupnya tidak bergantung kepada rakyat. Ia tidak menjadikan rakyat sebagai objek untuk memperkaya dirinya sendiri. Bahkan, dalam masa jayanya, ia membimbing, mengayomi, mendorong, melindungi, dan bekerja bersama rakyat untuk kejayaan bersama.

Berbeda dengan para pemimpin korup saat ini. Mereka mencintai rakyat hanya ada dalam slogan kampanye, teriakan dusta, pidato-pidato bohong. Mereka justru menginginkan rakyat dapat memberikan kontribusi bagi keinginan-keinginannya yang rendah. Mereka takut sekali hidup tidak bersama rakyat karena akan kehilangan objek yang bisa ditipu dan diperasnya. Mereka mengarahkan rakyat untuk mengikuti keinginannnya sendiri dengan memolesnya seperti untuk kepentingan bersama.

Kelima, Prabu Siliwangi bukanlah seorang pendendam. Meskipun harus kehilangan negaranya, ia tidak melancarkan fitnah atau orasi yang memelihara dendam para keturunan Sunda untuk menuntut balas pada pihak-pihak yang memusuhinya. Ia tidak memberikan arahan dan atau strategi untuk perang-perang selanjutnya. Sama sekali ia tidak berceritera tentang musuhnya itu, kecuali jangka waktu yang menjadi hak musuhnya untuk berkuasa. Sang Prabu malahan terus menyemangati warganya agar dapat hidup lebih baik di mana saja berada dan atau bersama penguasa yang mana saja sepeninggal runtuhnya kekuasaan Pajajaran.

Berbeda jauh dengan para pemimpin rendahan yang bisanya ngutang sana-ngutang sini, jual janji sana-sini yang marah besar dan sekaligus stress ketika mengalami kekalahan. Mereka mencari kambing hitam untuk dipersalahkan atas kekalahannya. Di samping itu, mereka menyusun kisah-kisah dusta agar pengikutnya dan rakyat melakukan aksi-aksi balas dendam terhadap pihak-pihak yang mengalahkannya, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka sama sekali tidak memikirkan kehidupan orang banyak. Mereka hanya dipusingkan oleh kepentingannya sendiri. Hati mereka sama sekali tak rela jika orang banyak bisa hidup harmonis dengan pihak-pihak yang menjadi saingannya dalam perebutan kekuasaan.

Keenam, Prabu Siliwangi adalah negarawan tulen. Ia merasa tak pantas menjadi raja jika rakyatnya miskin dan menderita. Artinya, ia sama sekali tidak menginginkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Jika rakyat sengsara, berarti dirinya gagal dalam memimpin. Ia tak akan mati-matian untuk tetap menjadi raja jika memang tidak bisa memakmurkan rakyatnya.

Berbeda dengan para pemimpin kacangan yang pandai sekali petantang-petenteng di depan rakyat karena merasa lebih kaya raya dibandingkan rakyat. Mereka akan dengan sangat cepat menyalahkan rakyat dengan hinaan sebagai pemalas, sedangkan dirinya pintar dan rajin sehingga bisa berkuasa dan kaya raya. Padahal, rakyat itu adalah berada di bawah tanggung jawabnya. Mereka malahan merasa takut jika rakyatnya makmur. Rakyat yang makmur akan menjadi rakyat yang pintar. Rakyat yang pintar dapat lebih memiliki harga diri dalam memberikan penilaian dan bersikap atas perilaku-perilaku salah yang dilakukan pemimpinnya. Pemimpin kacangan justru sangat tidak ingin rakyatnya makmur karena rakyat yang sejahtera tak bisa lagi ditipu dan kedudukannya sendiri menjadi sangat terancam.

Mudah-mudahan tulisan ini memberikan manfaat kepada kita semua sehingga hal-hal positif yang ada dalam diri Prabu Siliwangi dapat diteladani dalam menjalankan roda berbangsa dan bernegara ini. Dengan demikian, kita semua dapat bersinergi untuk lebih cepat keluar dari berbagai kesulitan serta lebih jauhnya lebih cepat mencapai kejayaan dan kemakmuran bersama.

Bismillaahi Allahu Akbar.