oleh Tom Finaldin
Bandung, Budak Angon
Jauh sebelum Belanda mencengkeramkan kukunya di tanah air, Prabu Siliwangi telah mengingatkan kita semua dalam uganya. Berikut paragraf yang mengisahkan hal tersebut.
Dalam bahasa Sunda.
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa sabab murah jaman seubeuh hakan.
Dalam bahasa Indonesia.
Dengarkan! Mereka yang sekarang memusuhi kita akan menjadi raja hanya dalam waktu yang sebentar. Waktunya hanya sampai pada masa tanah kering. Padahal, tanah itu terletak di pinggir Sungai Cibantaeun. Tanah itu kemudian dijadikan kandang kerbau kosong. Nah, sejak saat itu seluruh negara akan terpecah-pecah. Dipecahkan dan dijajah kerbau-kerbau bule yang dipimpin oleh orang tinggi yang memerintah di alun-alun. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule mengendalikan generasi muda dan pewaris kekuasaan, keturunan kita menjadi kuli, orang suruhan, namun tidak terasa karena semuanya serba ada, murah, banyak pilihan, dan bisa makan sampai kenyang.
Setelah meninggalkan kekuasaannya, Prabu Siliwangi mundur dari pentas kekuasaan. Sebelum ngahiang, ‘pergi menuju Tuhan’, Prabu Siliwangi memberikan pesan dan berbagai informasi berkaitan dengan peristiwa-peristiwa masa depan. Ia menjelaskan bahwa kekuatan yang telah menghancurkan Kerajaan Pajajaran hanya berlangsung sebentar, tidak lama. Hal itu disebabkan datang kekuatan baru, yaitu penjajah berkulit putih yang datang silih berganti. Penjajah berkulit putih itu dalam uganya disebut dengan kebo bule, ‘kerbau bule’. Belanda adalah yang terlama berkuasa.
Kedatangan penjajah Belanda membuat kekuatan yang telah menyerang Pajajaran melemah dan akhirnya kalah. Belanda menguasai tanah-tanah yang dulunya merupakan wilayah Pajajaran dalam keadaan terpecah-pecah. Sejarah resmi kita pun yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi mengajarkan hal itu.
Raja-raja seluruhnya dibelenggu dalam arti di bawah kendali kolonial Belanda. Belanda mengendalikan semuanya dari pusat kota, alun-alun.
Para pemuda dan pewaris kerajaan dikuasai Belanda. Bahkan, Belanda dapat mengatur suksesi di antara para raja dan pewarisnya. Lebih dari itu, Belanda kerap melakukan politik devide et impera di dalam keluarga istana untuk kepentingan kolonialismenya sendiri.
Dalam keadaan itu, orang-orang Sunda menjadi kuli, orang suruhan. Meskipun demikian, rakyat Sunda tidak merasakannya sebagai penjajahan. Hal ini bisa dipahami dari catatan sejarah orang Sunda sendiri yang tidak begitu mementingkan kehidupan politik, bahkan sampai hari ini. Kehadiran penjajah berikut sepak terjangnya di dalam istana para raja, tidak menjadi perhatian yang sangat penting bagi orang Sunda. Hal itu disebabkan orang Sunda memiliki sifat someah hade ka semah, ‘harus berperilaku baik terhadap tamu’. Belanda dianggapnya sebagai tamu yang harus dihormati. Di samping itu, negosiasi-negosiasi yang dilakukan para penguasa Sunda dan Belanda tampaknya memang memberikan hasil yang membuat rakyat Sunda tidak begitu marah karena secara ekonomi bisa dikatakan tercukupi. Hal itulah yang disebutkan dalam Uga Wangsit Siliwangi.
Sunda:
Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa sabab murah jaman seubeuh hakan.
Indonesia:
Kerbau bule mengendalikan generasi muda dan pewaris kekuasaan, keturunan kita menjadi kuli, orang suruhan, namun tidak terasa karena semuanya serba ada, murah, banyak pilihan, dan bisa makan sampai kenyang.
Kondisi tercukupi menurut ukuran rakyat Sunda itu membuat rakyat Sunda tidak sadar bahwa dirinya sedang dijajah atau dikuasai orang lain. Akibatnya, orang Sunda tidak memiliki kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri. Mereka harus hidup dalam kontrol kolonial Belanda. Seterusnya, Belanda memanfaatkan kekayaan tanah Sunda untuk kepentingan negerinya sendiri.
No comments:
Post a Comment