Saturday, October 30, 2010

Ngahiang

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon
Prabu Siliwangi adalah Raja Sunda yang sangat dihormati, baik pada masa kejayaannya maupun sampai hari ini meskipun telah berabad-abad lamanya. Bagi orang-orang Sunda, Prabu Siliwangi adalah masih rajanya yang terhebat dalam mengatur pemerintahan dan mengemong rakyat. Oleh sebab itu, sampai hari ini ajaran-ajarannya masih digunakan karena bersifat elastis menembus zaman, menembus teritori, serta menembus ras dan suku. Ajaran yang sampai saat ini terus dikejar untuk diwujudkan oleh semua orang, terutama orang Indonesia, adalah silih asih silih asah silih asuh, ‘saling mengasihi, saling membimbing, saling melindungi’. Saya yakin bahwa ajaran ini seperti dikatakan tadi, yaitu bukan hanya baik untuk orang Sunda dan berlaku pada waktu tertentu, melainkan menembus zaman, menembus teritori, serta menembus ras dan suku. Bahkan, kemampuannya dalam nganjang ka mangsa datang, ‘melihat masa depan’, telah membuktikan bahwa Prabu Siliwangi bukan hanya penguasa yang terampil dalam manajemen pemerintahan, melainkan sosok spiritualis yang disiplin dan ulet.

Pada akhir hidup Kerajaan Pajajaran yang dulu, Prabu Siliwangi memberikan wangsit yang lebih dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Wangsit itu berisi tentang pesan, petunjuk, dan berita-berita yang akan terjadi pada masa depan agar rakyatnya mampu memilih dan bersikap lebih bijak dalam mengarungi hidup selanjutnya. Sang Prabu tampaknya sangat ingin bahwa kehidupan rakyat di daerah-daerah yang dikuasainya meskipun dirinya telah mundur dari pentas kekuasaan, mampu mewujudkan namanya, yaitu “Siliwangi” yang berarti saling memberikan keharuman, saling mengharumkan, sehingga kehidupan dipenuhi wewangian sejati.

Setelah memberikan wangsit, Prabu Siliwangi pun ngahiang. Banyak orang mengartikan ngahiang ini sebagai pergi menghilang tanpa diketahui ke mana untuk menghindari kekuasaan penguasa yang baru. Adapun saya lebih sependapat dengan Kang Yoseph Iskandar (alm) yang mengatakan bahwa ngahiang itu adalah pergi menuju Tuhan. Ngahiang sendiri berasal dari suku kata nga dan hiang. Nga dalam bahasa Indonesia sama dengan imbuhan me- untuk kata kerja, sedangkan hiang merupakan perubahan pengucapan dari kata Hyang. Hyang memiliki arti dewa atau Tuhan. Jadi, Ngahiang itu sama dengan ngahyang, men-Tuhan, ‘pergi untuk bersatu bersama Tuhan’.

Meskipun sudah ngahiang, Prabu Siliwangi tetap akan bersama-sama dengan Urang Sunda dan Pajajaran dalam menempuh hidup pada masa-masa mendatang sampai batas waktu yang hanya diketahui oleh Allah swt. Tentunya, bersama-sama tidak dalam arti hidup bersama secara fisik, tetapi dengan cara lain. Hal itu sebagaimana yang disebutkannya sendiri dalam Uga Wangsit Siliwangi berikut ini.


Dalam bahasa Sunda.

Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir!

Dalam bahasa Indonesia.

Seluruh keturunan kalian akan aku kunjungi, tetapi hanya pada waktu yang diperlukan. Aku akan datang lagi menolong yang membutuhkan pertolongan, membantu yang kesusahan, tetapi hanya kepada mereka yang baik tingkah lakunya. Jika aku datang, tidak akan terlihat. Kalau aku berbicara, tidak akan terdengar. Memang aku akan datang. Akan tetapi, hanya kepada mereka yang baik hatinya, mereka yang memahami terhadap satu tujuan, mereka yang mengerti pada keharuman sejati, mereka yang memiliki empati tinggi dan tertata rapi pikirannya, serta yang baik tingkah lakunya. Kalau aku datang, tidak akan berupa dan tidak akan bersuara, tetapi memberi ciri dengan wewangian. Sejak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, kecuali nama untuk mereka yang menelusurinya. Hal itu disebabkan bukti yang ada akan diingkari banyak pihak!

Pernyataan yang ada dalam uga tersebut menegaskan bahwa Prabu Siliwangi akan berkeliling mengunjungi keturunan Sunda di mana pun berada, tetapi hanya mengunjungi orang-orang Sunda yang kriterianya ditentukannya sendiri, sebagaimana tertulis di atas. Ia akan datang tanpa rupa dan tanpa suara, tetapi akan memberi ciri dengan wewangian. Ia akan datang kepada mereka yang memiliki ilmu pengetahuan, berhati bersih, berjiwa baik, dan berperilaku benar. Itu bisa berarti yang akan datang dan terus mengalir adalah ilmunya, jiwanya, semangatnya, cita-citanya, perilakunya, serta ketajaman pikiran dan kemampuan manajemen pemerintahannya. Sang Prabu akan datang berkeliling kepada orang-orang yang memiliki gelombang energi yang sama dengannya. Kesamaan energi itu bisa ada pada orang-orang yang kriterianya sesuai seperti yang disebutkan dalam uganya sendiri. Jangan berharap bisa memahami wangsit-wangsit Siliwangi jika masih belum bisa menjadi orang baik-baik. Tidak perlu pula percaya kepada mereka yang mengaku-aku mendapatkan wangsit Siliwangi jika ternyata dalam catatan kehidupannya penuh dengan dusta, khianat, fitnah, kebencian, jahat, zalim, curang, dan berhati kaku.

Pernyataannya yang akan datang berkeliling mengunjungi keturunan rakyatnya adalah untuk memberikan bahan panduan bagi kita semua, sebagai warga bangsa Indonesia dan seluruh nusantara, untuk melangkah lebih baik menghadapi berbagai zaman sehingga mampu keluar dari kesulitan-kesulitan yang menghimpit, bahkan hidup dalam kemakmuran dan kejayaan.

Wallaahu alam.

No comments:

Post a Comment