Saturday, October 30, 2010

Gus Dur dalam Uga Wangsit Siliwangi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Budak Angon
Gus Dur atau lebih tepatnya K.H. Abdurrahman Wahid, telah digambarkan oleh Prabu Siliwangi berabad lalu akan menjadi Presiden RI ke-4. Gambaran itu memang benar-benar terjadi.

Begini Sang Prabu menggambarkannya dalam bahasa Sunda.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu.

Dalam bahasa Indonesia.

Terus, berdiri lagi raja, tetapi raja buta yang membangun gerbang yang tidak boleh dibuka, membangun pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran di tengah jalan, memelihara elang di pohon beringin karena memang raja buta! Bukan buta pemaksa jahat yang sewenang-wenang, tetapi buta tidak dapat melihat, buta matanya.

Ciri yang paling utama dari Presiden RI ke-4 Gus Dur adalah soal mata, penglihatan. Ia memiliki mata yang tidak dapat melihat dengan baik. Dalam kata lain, dia itu buta matanya. Jadi, jelas yang dimaksud Prabu Siliwangi sebagai raja buta itu bukan buta atau raksasa yang jahat, melainkan buta matanya.

Paragraf tersebut menggambarkan pula kepemimpinan Gus Dur selama menjadi presiden. Gus Dur nangtungkeun panto teu benang ditutup, ‘membangun pintu yang tidak boleh ditutup’. Dalam pemahaman saya, Gus Dur itu membangun sistem komunikasi yang lebih bebas dibandingkan Soeharto. Ia memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyampaikan gagasannya dan itu tidak boleh dihalang-halangi. Ia tidak antikritik dan tidak antidemonstrasi. Ia sangat tidak setuju jika menutup pintu bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat atau keinginan-keinginannya.

Di samping itu, ia nyieun pancuran di tengah jalan, ‘membuat pancuran di tengah jalan’. Bisa disaksikan bersama bahwa dalam kepemimpinannya, ia membebaskan sangat banyak orang yang menderita fitnah akibat kekejian G-30-S berikut peristiwa yang mengikutinya kemudian. Para aktivis, pengikut, dan simpatisan PKI dibebaskannya untuk kemudian direhabilitasi namanya sehingga memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan warga Negara Indonesia lainnya. Para korban fitnah itu telah lama menderita, terasingkan tanpa mengetahui kesalahannya karena memang tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Jumlahnya teramat banyak. Mereka itu bagaikan kehausan. Haus kebebasan, haus cinta, haus penghormatan, dan haus pengakuan dari sesama warga Negara Indonesia. Mereka sangat haus bagaikan berada di tengah jalan dalam keadaan terik Matahari. Gus Dur membuatnya pancuran air untuk menghilangkan dahaga mereka. Di samping itu, Gus Dur menempatkan ABRI (sekarang TNI) pada porsinya, yaitu berada di barak, tidak lagi ikut-ikutan politik. Hal itu merupakan air pancuran bagi siapa pun yang pernah merasa takut terhadap TNI yang sebelumnya sering petantang-petenteng. Hal itu pun sekaligus menjadi air pancuran bagi TNI sendiri karena dengan kembali ke barak, lepas dari politik, TNI akan menjadi lebih profesional dan lebih berkonsentrasi pada tugasnya yang utama, yaitu sebagai alat ketahanan dan pertahanan negara. Tambahan pula, yang tidak boleh dilupakan adalah Gus Dur melikuidasi Departemen Penerangan RI. Hal itu menjadi air pancuran yang melepaskan dahaga bagi insan pers sehingga dapat berekspresi lebih leluasa dan masyarakat pun dapat menikmati berbagai macam berita yang dulunya dianggap sangat tabu karena berbenturan dengan kepentingan kekuasaan.

Meskipun demikian, ia miara heulang dina caringin, ‘memelihara elang di pohon beringin’ yang bisa berarti melakukan sesuatu yang kurang tepat. Burung elang itu habitatnya bukan di pohon beringin. Burung elang itu hidup di puncak-puncak gunung berbatu dan tebing-tebing tinggi batu keras yang ditiup kerasnya angin. Di sanalah burung elang bertelur, tumbuh, dewasa, dan menjalani kehidupannya. Kalaupun burung itu terbang ke pohon-pohon atau padang-padang rumput, itu hanyalah untuk mencari makanan. Artinya, apa yang dilakukan Gus Dur sepertinya tepat karena bukankah elang suka berada di pohon? Akan tetapi, sebenarnya kurang tepat karena habitat aslinya bukan di sana.

Kekurangtepatan Gus Dur dapat dilihat dari bagaimana dia menggunakan hak preogratifnya dalam membentuk kabinet, mengangkat menteri, maupun melakukan reshufle. Ia memiliki keyakinan penuh bahwa dirinya melakukan hal yang terbaik. Oleh sebab itu, ia sangat gusar ketika ada orang atau pihak yang mencoba berbeda pandangan dengannya. Itulah yang saya maksud dengan ngadegkeun lawang teu benang dibuka, ‘membangun gerbang yang tidak boleh dibuka’. Artinya, di dalam alam reformasi yang penuh kebebasan ini mestinya gerbang kritik dan komentar soal hak-hak istimewanya, termasuk Brunai Gate dibuka, tetapi Gus Dur menutupnya, tidak boleh dibuka. Ia sangat yakin dengan langkahnya.

Karena memelihara elang di pohon beringin dan membangun gerbang yang tidak boleh dibuka inilah, Gus Dur akhirnya digulung MPR RI yang menggunakan senjata Memorandum I, Memorandum II, dan Memorandum III yang ujung-ujungnya Sidang Istimewa. Jatuhlah ia di tengah jalan.

No comments:

Post a Comment